"Sibaliparriq", Peran Ganda Perempuan Mandar

Oleh Muhammad Ridwan Alimuddin
Dimuat di http://www.panyingkul.com/ tanggal 22 April 2007
************************************************

Setiap pagi di Teluk Majene puluhan perempuan menanti para pajala (nelayan yang menggunakan jaring payang) datang dari laut membawa ikan, tiap siang beberapa perempuan berjibaku sekop menggali pasir di Sungai Mandar, tiap dini hari jalan utama di Kelurahan Tinambung dilintasi perempuan-perempuan yang memanggul puluhan jerigen menuju sumber air minum. Jika ada yang bertanya, mereka sedang melakukan apa, salah satu jawabnya, mereka mempraktekkan konsep sibaliparriq.



Passauq Wai (penyedia air bersih)salah satu konsep sibaliparriq.
Foto: Muhammad Ridwan Alimuddin.



Sejatinya, konsep sibaliparriq adalah “membagi kesusahan” antara suami istri, demikian pula sebaliknya. Tapi tidak salah bila memasukkan anggota keluarga lain, misalnya anak. Namun dalam banyak pembicaraan, baik diskusi ilmiah maupun pendapat umum, sibaliparriq identik akan apa yang dilakukan kaum perempuan. Wajar, sebab perempuan “pada dasarnya” mengurusi hal domestik saja. Jika dia melakukan peran ekonomi, maka itu adalah “tambahan”, dia membantu suaminya. Banyak yang memaknai, kegiatan “tambahan” itu adalah sibaliparriq.

Sibaliparriq terdiri dari tiga suku kata, yaitu si (berhadapan), bali (lawan, musuh; bila mendapat awalan me- berarti membantu), dan parriq (susah). Jadi, secara sederhana sibaliparriq berarti saling membantu.

Dua tahun terakhir ini, 2005 dan 2006, terbit dua buku bertema sama: “sibaliparriq”. Buku pertama ditulis oleh Muhammad Idham Khalid Bodi, berjudul “Sibaliparri: Gender Masyarakat Mandar” (Graha Media Celebes, Jakarta, 210 hal.). Buku kedua dikerjakan oleh tim yang terdiri dari Jubariah, Muhammad Syariat Tadjuddin, Mansur, dan Abd. Rahman Yakin dengan judul “Siwaliparri dalam Perspektif Pemberdayaan Perempuan” (Beranda Cendekia Konsultan, Mammesa Art Community, Balaniva Publishing, Yogyakarta, 132 hal.).

Sebagai bahan pustaka tentang Mandar dan gender, kedua buku tersebut penting untuk dimiliki. Namun sayangnya, menurut saya, kedua buku ini gagal untuk hadir sebagai bacaan menarik. Idealnya, sebuah buku yang bagus akan dibaca hingga tuntas, memberikan mencerahkan dan berarti untuk dijadikan koleksi.. Tidak sebatas: beli - baca sekilas - simpan di rak - jika butuh informasi, buka lagi.

Fenomena buku yang mengangkat isu-isu penting tapi tidak berhasil muncul sebagai bacaan yang menarik, merupakan lagu lama di Indonesia. Anehnya, buku-buku berciri demikian lahir dari dunia perguruan tinggi. “Mengganti” sampul skripsi, tesis, atau disertasi dengan sampul yang menarik mata, jamak kita lihat di toko-toko buku. Padahal, membukukan sebuah hasil penelitian, apalagi dengan harapan dapat menarik minat masyarakat luas, tentu butuh upaya ekstra dalam menyesuaikan cara penyampaiannya. Sekali lagi, isinya penting, tapi tak berhasil menarik minat pembaca.

Nah, kembali ke masalah sibaliparriq, beberapa budayawan Mandar terlalu mengagungkan konsep ini. Dalam arti, ada anggapan seolah-olah konsep itu hanya ada di Mandar. Sebenarnya tidak! Hampir semua suku bangsa atau komunitas mempraktekkan konsep kerjasama antar anggota rumah tangga, mungkin istilahnya saja yang beda. Malah ada yang lebih “radikal”, misalnya etnis Ama di Jepang. Yang menjadi nelayan adalah kaum perempuan. Ya, perempuan menjadi penyelam abalon. Adapun kaum lelaki tinggal di rumah atau hanya membantu mendayung.

Bagi pembaca yang akrab dengan karya ilmiah yang dituliskan dengan populer dan memikat, sudah pasti kecewa membaca isi buku pertama, yang gaya penulisannya sangan akademis dan kaku. Dengan penyusunan bab yang meniru skripsi: Pendahuluan – Kajian Pustaka – Metode Penelitian – Bab Pembahasan – Penutup, memang tidak ada kenikmatan pembelajaran yang bisa didapatkan. Sementara buku kedua, hadir dengan mencontoh kompilasi makalah ilmiah.

Bagi saya pribadi, dengan mengacu pada pentingnya memerhatikan kualitas sebuah buku, saya memasukkan buku kedua ini ke dalam kategori “tak perlu terbit”. Alasannya, karena isinya hampir sama dengan buku pertama (buku pertama menjadi bahan pustaka di buku kedua) ditambah beberapa panduan dalam gerakan pemberdayaan gender. Kedua buku ini diberi kata pengantar oleh orang yang sama, yaitu Prof. Dr. H. Darmawan Mas’ud Rahman, M.Sc. Menurut saya, Sulawesi Barat atau Mandar tak kekurangan budayawan dan ilmuwan yang paham tentang sibaliparriq. Tapi bila niatnya mencari tokoh dengan gelar akademik berjejer sebagai upaya penasbihan, Professor Darmawan sang cendekiawan dan budayawan Mandar itu adalah orang yang tepat.

Lantas bagaimana cara yang ideal memaparkan sibaliparriq dalam sebuah buku? Saya membayangkan sebuah buku yang isinya bercerita secara dalam mengenai pelakon sibaliparriq dari beragam macam latar belakang. Bukan hanya para perempuan yang pekerjaannya telah saya paparkan di bagian awal tulisan ini, tapi juga para perempuan yang bekerja di sektor lain. Misalnya, apakah ibu-ibu PKK juga ber-sibaliparriq, atau bagaimana kaitan sibaliparriq dengan fenomena jarangnya ilmuwan dan budayawan perempuan di ranah diskusi kebudayaan Mandar, juga tentang kaum perempuan yang berkesenian, semisal Mak Cammana yang kesohor itu.

Tentunya menarik untuk melihat beragamnya model sibaliparriq dalam kehidupan keseharian. Misalnya tentang lelaki yang menjaga warung sedang sang isterinya adalah pegawai negeri, dan tentang anak-anak dalam keluarga yang ikut dalam aktivitas ekonomi (dalam kerangka sibaliparriq) yang memilih tak bersekolah, karena dirinya keenakan mendapatkan upah dari pekerjaannya.

Bila yang dihadirkan kepada pembaca adalah 101 kasus dari 102 latar belakang, maka buku yang mengupas sibaliparriq ini tak perlu mengumbar teori-teori, menurut ini … menurut itu …. Sebagai pencinta buku, saya selalu berharap buku yang saya baca bisa mendatangkan kenikmatan selain menambah pengetahuan. Singkatnya, saya selalu mendambakan buku yang menyajikan proses pembelajaran yang menyenangkan, dan saya rasa ini adalah harapan yang jamak dimiliki para pencinta buku.

Pertanyaannya, apakah para penulis buku mengenai sibaliparriq ini menemukan kesulitan untuk menuliskannya dengan memikat? Saya yakin, para penulis buku ini memiliki pengalaman yang erat berkaitan sibaliparriq di Tanah Mandar. Seharusnya pergulatan sosial dan kultur yang terakumulasi dari pengalaman demi pengalaman, disertai dengan pengamatan lapangan secara mendalam, yang dituliskan dengan menampilkan sisi kemanusiaan para pelakunya.

Penekanan seharusnya diberikan pada upaya memunculkan “suara” perempuan dan lelaki yang menjalankan sibaliparriq. Bukan sebaliknya, mengurung keleluasaan penceritaan dalam kaidah ilmiah dan teori-teori, serta menempatkan pelaku sebagai obyek penelitian semata.

Pergumulan sosial dan kultural dalam konsep sibaliparriq sebenarnya disinggung Darmawan Mas’ud dalam kata pengantarnya untuk buku kedua, dan bagi saya, seharusnya inilah yang menjadi acuan dalam penulisannya.

Buku sibaliparriq yang saya bayangkan adalah buku yang memaparkan kehidupan empiris beragam pelaku konsep sibaliparriq, karena misi yang mendesak diemban sebuah buku hasil penelitian dan kumpulan pemikiran adalah bagaimana isu yang dibahas bisa menarik hati pembaca untuk mengetahui lebih dalam mengenai sibaliparriq. Bila para penulis terjebak pada pemaparan teori-teori, pendapat ini-itu, masyarakat umum rasanya tak punya waktu untuk memahami itu semua.

Bagi saya, buku hebat tak perlu ditandai oleh puluhan judul buku di daftar pustaka, untuk menunjukkan keluasan bacaan penulisnya. Bila disuruh memilih, sebagai orang yang selalu haus mengetahui budaya kampung sendiri, saya akan memilih sebuah buku yang memaparkan pengalaman orang-orang yang melakukan konsep sibaliparriq, serta dialektika sosial, ekonomi dan kultural yang terbangun sebagai konsekuensi logisnya, dalam kehidupan masyarakat Mandar hari ini. Sayangnya, keinginan sederhana saya ini, tidak terjawab setelah membaca kedua buku tersebut.

Tidak ada komentar: