“Sandeq” yang bukan Sandeq

Oleh: Muhammad Ridwan Alimuddin & Horst H. Liebner, Peneliti Kebaharian Mandar
Dimuat di Fajar Makassar, 23 May 2005
************************************


Sejak akhir Maret 2005, di Desa Pambusuang, Kabupaten Polewali Mandar, Provinsi Sulawesi Barat, hanya berjarak beberapa puluh meter dari rumah Baharuddin Lopa yang habis terbakar, dikerjakan sebuah perahu yang agak aneh bentuknya.

Perahu itulah yang akan menjadi aktor utama pada pelayaran Spirit of Asian Voyagers Expedition (‘Ekspedisi Semangat para Pelaut Asia’), suatu ekspedisi yang katanya “Menuju Sejarah Baru Bangsa Asia!”, bertema “Save the Pacific!” dan “Sandeq for New Asian History”.

Ya, perahu itu memang ‘dijual’ sebagai sandeq. Demikianlah sebutannya di beberapa media yang memberitakan pelaksanaan kegiatan itu (misalnya Kompas, 17 Desember 2004: Perahu Sandeq Akan Jelajahi Pasifik Sejauh 40.000 Km). Juga, semacam lembaran konferensi pers yang kami dapatkan menyebutnya sebagai sandeq. Bahkan, menurut lembaran itu, perahu tersebut berjenis ‘ultra sandeq’, dijuluki demikian karena dimensinya jauh lebih besar daripada sandeq pada umumnya: panjang 16 meter, lebar 1,2 meter, dan tingginya –tak tanggung-tanggung– hampir dua meter. Ya, katanya, di Mandar pun pernah dibuat sandeq yang ukurannya hampir sama – akan tetapi, habis bertanya ke mana-mana, kami hanya dengar kabar tentang dua perahu sandeq yang ukurannya (hampir) mendekati sang ‘ultra sandeq’ ini.

Ketika kami bertanya kepada nelayan dan tukang perahu setempat mengenai jenis perahu itu, mereka pun agak bingung menjawab. Sambil bercanda, ada yang menyebutkannya sebagai “sandeq raksasa”, dan akhirnya masyarakat setempat menyebutnya sandeq bagang karena perahu tersebut agak mirip dengan alat penangkapan ikan yang bisa berpindah-pindah ini.

Jenis Perahu Sandeq

Sandeq adalah perahu bercadik khas Mandar. Sandeq digunakan untuk menangkap ikan dan berdagang, warnanya putih, bertiang layar tunggal, layarnya bersegi-tiga, dan mempunyai dua baratang (cadik) serta dua palatto (katir). Penggolongan sandeq paling tidak berdasarkan tiga karakteristik: dari segi konstruksi, peruntukkannya, dan ukuran: Sandeq yang baratang-nya dipasang di bawah geladak disebut sandeq tolor; bila cadik itu dipasang di atas dek, maka disebut sandeq bandecceng; dan perahu ‘campuran’ di antara dua jenis tadi (artinya, baratang haluan di atas, belakang buritan di pasang di bawah geladaknya) diistilahkan sandeq bencong atau calabai (waria). Ada pun atas dasar penggunaannya, sebagai misal adalah sandeq parroppong (digunakan menangkap ikan di rumpon) dan sandeq potangnga (yang digunakan untuk menangkap ikan terbang dan telurnya). Dan yang berdasarkan ukuran: umpamanya, sandeq kayyang (besar, diawaki 3-6 orang) dan sandeq keccu (kecil, diawaki 1-2 orang).

Meskipun ada beberapa jenis sandeq, namun ciri utamanya tetap sama. Na, kalau sebuah perahu bukanlah sandeq, maka ada sebutan lain, yang dapat menandai tipe-tipe perahu yang sangat jelas dan nyata ciri-cirinya. Misalnya, jenis perahu bercadik yang digunakan nelayan Mandar sebelum kemunculan sandeq, pada tahun 1930-an, dinamakan olan mesa (jenis perahu itu terdapat di lambang Kabupaten Majene) dan pakur. Memang, perahu pakur agak mirip dengan sandeq - akan tetapi, ketika mau ditelisik lebih jauh, akan tampak sekian banyak perbedaan. Perbedaan-perbedaan inilah yang menyebabkan bahwa istilah “pakur” digantikan dengan sebutan “sandeq”.

Perahu pakur menggunakan layar segi-empat (layar tanjaq), bertiang layar tunggal tetapi ukurannya lebih pendek dan kaku sebab disesuaikan dengan jenis layarnya, posisi cadik depan tidak tepat di dekat ujung haluan perahu tetapi agak ke tengah, dan baratang buritannya lebih jauh ke belakang, dekat sanggar kemudinya; bagi para nelayan Mandar perbedaan-perbedaan ini sangat jelas. Adapun kesamaan antara sandeq dan pakur: ujung haluan dan buritan berbentuk limas segi-tiga (ini adalah ciri khas pakur dan sandeq); sanggar kemudi ‘berlapis’ dua, yakni sanggilang moane (laki-laki, bagian atas) dan sanggilang baine (perempuan, bawah); satu tiang layar, dua baratang, dan dua palatto. Bagaimanapun, sebagai angkutan di laut baik pakur maupun sandeq sudah hampir punah: sejak para nelayan Indonesia melengkapi perahu-perahunya dengan mesin, perahu-perahu tak laku lagi.

Lalu bagaimana dengan perahu yang akan digunakan untuk ekspedisi itu? Bagi seorang pelaut Mandar, perahu itu jelaslah bukan sandeq. Perahu itu berukuran amat besar, memakai dua tiang dengan tiga lembar layar yang digolongkan sebagai jenis layar nade, ditambah empat baratang dan empat palatto. Jadi, bisa dikatakan, perahu itu bukan sandeq, ‘kan?

Selain daripada hal-hal ini, perahu itu menggunakan mesin yang dipasang di dalam lambung perahu, sehingga lambung buritan diubah secara radikal, dan layout geladak, interiornya dan ukiran lambung disesuaikan dengan keinginan sang pemesan. Berhadapan dengan semua modifikasi ini, salah seorang tukang perahu yang mengerjakan perahu tersebut mengatakan secara pasrah, “saya hanya ikut perintah pemesan”. Dengan istilah lain, bila perahu itu mau disebutkan sandeq, ia semacam “sandeq keturunan indo”, tidak lagi ‘berdarah asli Mandar’ meskipun dikerjakan oleh tukang perahu Mandar.

Nah, apapun jenis perahunya, sebagai pencinta kebudayaan dan tradisi bahari, kami mengharapkan pelayaran tersebut berjalan dengan sukses, sebagaimana yang diharapkan oleh para penggagasnya. Akan tetapi, selain soal sebutan alat pelayarannya, ada masalah yang jauh lebih krusial, yaitu salah satu dasar teknis perkapalan: yang namanya perahu layar selalu harus memperhatikan perhitungan stabilitas. Pada sebuah perahu sandeq ‘biasa’, soal itu dipecahkan melalui beberapa rumus perbandingan antara daya apung katir, lebarnya cadik dan besarnya layar serta bentuk lambung. Artinya, bambu katir, palatto, harus memiliki ukuran dan berat tertentu supaya dapat menyeimbangi sebuah perahu yang berukuran tertentu; dan karena palatto itu sangat penting untuk menciptakan stabilitas dalam berlayar itu, maka bambu yang dipakai dikerjakan dengan amat seksama dan lama.

Apa artinya bagi perahu ‘ultra-sandeq’ itu? Jelas, palatto-nya harus ‘ultra’ juga, artinya, daya apung yang ditimbulkan oleh bambu penyeimbang itu harus sesuai dengan daya-daya yang disebabkan oleh angin dan ombak yang ingin membalikkan perahu. Akan tetapi, bambu yang ukurannya sesuai dengan sebuah perahu yang sebesar perahu ekspedisi itu tak pernah ada, sederhananya, secara alami, bambu bagaimanapun tak pernah tumbuh dalam ukuran yang diperlukan itu. Konon ceritanya, kedua perahu sandeq raksasa buatan Mandar yang disebtukan sebelumnya memakai ‘katir dobel’, artinya, dua batang bambu dipasang sejajar pada masing-masing sisi perahu agar daya apung palatto dapat menahan keseimbangan perahu.

Pada perahu ekspedisi Borobudur ke Afrika 2003-2004 hal itu diantisipasi dengan menggunakan lambung perahu lebar yang dengan ini memiliki stabilitas yang inheren. Para ahli perkapalan yang dilibatkan dalam pelayaran Borobudur itu dari awal sadar, bahwa mereka takkan mendapatkan bambu katir yang dapat menyeimbangi perahu. Sebaliknya, mereka menyimpulkan, bahwa tujuan utama penggunaan katir dan cadik pada perahu-perahu abad ke-9 bukan guna menjaga stabilitasnya, tetapi lebih-lebih sebagai tempat yang sangat cocok untuk mendayung.

Jadi, apa solusinya bagi para petualang Asian Spirit itu? Karena memang tiada bambu yang panjangnya sesuai dengan yang mereka perlukan, diputuskan memasang dua pasang katir dan cadik. Hal itu tak dapat memecahkan masalah volume palatto, kriterium pertama yang menentukan daya apungnya. Malahan lagi, karena ternyata mereka tidak mendapatkan palatto yang siap pakai, maka diputuskan memesan bambu baru dari hutan – dengan melupakan, bahwa bambu yang basah adalah sekitar tiga sampai empat kali lebih berat daripada bambu kering, sehingga daya apungnya hanya sepertiga atau seperempat dari bambu kering.

Bukan tanpa alasan para pelaut Mandar selalu menggunakan bambu yang dikeringkan melalui sebuah proses rumit yang memerlukan empat sampai enam bulan. Dan, sebenarnya, hal itu berlaku juga untuk kayu yang mau dijadikan perahu.

Ketika kami terangkan cara pembuatan palatto dan mengingatkan mereka akan bahaya yang akan mereka hadapi bila menggunakan katir dan papan lambung yang tidak kering, penterjemahnya tidak bersedia untuk menyampaikan peringatan-peringatan kami kepada sang pemimpin ekspedisi ini, Yamamoto-San. Malahan, jawaban yang diberikan oleh juru bahasa itu kepada kami cukup mengherankan: “Semua yang ikut sudah tahu konsekuensinya.”

Bagi orang yang bukan ahli perkapalan: cobalah kita simak sebuah analogi. Apakah Anda akan mengendarai sebuah mobil yang velgnya bengkok sampai ke Menado? Bila Anda tidak tahu bawah mobil memerlukan ban bundar? Ya, mungkin, tapi apakah Anda akan tiba dengan selamat? Atau: Kalau tahu bahwa ban Anda tidak bundar, dan mengerti bahwa bannya seharusnya bundar, apakah Anda akan menggunakannya? Dalam kasus ini: ekspedisi itu tidak hanya akan sampai ke Menado, tetapi menempuh suatu pelayaran lebih dari 30.000 mil laut - ke Menado hanya sekitar 1.500 km, artinya itu hanya sepersekian dari rute pelayaran yang maunya ditempuh dengan “ban tidak bundar” tersebut.

Bagaimanapun, setelah kami memperlihatkan perbedaan beratnya bambu kering dan basah secara langsung kepada Yamamoto-San dengan menggunakan dua batang bambu yang demikian, diputuskan meminta bambu palatto dari para pemilik perahu sandeq lomba; kami pun ikut mengorbankan salah satu palatto milik kami. Akan tetapi – bambu-bambu katir itu sesuai dengan perahu berukuran sampai 12 meter saja; bila dipasang pada sebuah perahu yang 1/3 kali lebih panjang daripada perahu sandeq lomba terpanjang, maka, secara logis, tinggallah 2/3 dari daya apung awalnya, bukan?

Bukan hanya kami yang risau akan hal-hal ini. Salah seorang tukang perahu yang disegani di Mandar pun dengan otoritas pengetahuan yang dimilikinya mengkhawatirkan akan jumlah susunan papan lambung yang terlalu banyak dan yang posisinya tegak lurus terhadap tekanan air. Seharusnya, perahu yang terdiri dari beberapa susunan papan lambungnya dibuat melebar agar stabilitas yang terancam oleh ketinggian itu dapat diseimbangi. Cobalah saja Anda simak perbedaan antara sebuah buku yang ditegakkan di atas sisi punggungnya dengan sebuah buku yang dibaringkan di atas sisi sampulnya!

Di sini perlu dijelaskan, bahwa sebuah perahu sandeq ‘biasa’ hanya terdiri dari belang (kayu gelondongan yang dikeruk bagian tengahnya) sebagai dasar perahu dan satu atau dua urat papan tambahan. Dan paling banter tingginya sekitar satu meter – sementara bentuk lambung perahu yang akan digunakan ekspedisi tersebut terdiri dari belang dan lima urat tambahan, sehingga lambungnya mencapai ukuran hampir dua meter. Tidak apa-apa jika lambungnya agak lebar – akan tetapi, yang terjadi adalah lebarnya tidak jauh berbeda dengan sandeq pada umumnya, yakni amat ramping. Sederhananya, lambung perahu sendiri sama sekali tak stabil, dan alat penambah stabilitas, yaitu palatto, tak sesuai ukurannya, sehingga rawan terbalik.

Ada seorang nelayan Mandar yang meminta masukan ketika ada tawaran kepada dia sebagai salah seorang calon pelayar pada ekspedisi tersebut. Maksudnya, jika ekspedisi tersebut menggunakan judul pelayaran dengan sandeq, apa yang terjadi jika ekspedisi tersebut gagal, misalnya perahu rusak? Sandeq yang menjadi kambing hitam? Apakah nanti takkan ada komentar-komentar seperti “ternyata sebatas itu kemampuan sandeq”?

Sebenarnya, ketika Yamamoto-San pertama kali menemui kami dan menanyai pendapat kami, secara langsung kami menyarankan agar ekspedisi itu sebaiknya menggunakan dua perahu sandeq ‘biasa’ saja – semua kesulitan-kesulitan tentang jadwal pembuatannya yang sagat mepet dan sekian banyak masalah teknis terpecahkan dengan otomatis, dan kami cukup yakin bahwa sebuah perahu sandeq yang dipersiapkan dengan baik dapat menempuh pelayaran itu. Bagaimanapun, yang terjadi saat ini adalah sandeq Mandar hanya menjadi semacam inspirasi bagi tim petualang itu – dan kelaiklautan sandeq dikorbankan atas nama inspirasi itu.

Mungkin kekhawatiran sang pelaut Mandar tadi, apakah nanti takkan ada kesalahpahaman bagi orang yang tidak mengetahui bentuk sandeq yang sebenarnya? Maksudnya, ketika mereka melihat perahu tersebut baik lewat foto, film, atau secara langsung, maka mereka akan menganggap bahwa itulah ‘sang penari di atas ombak itu’ – padahal pelaut itu sendiri tahu, bahwa perahu ekspedisi ini bukanlah sebuah sandeq na malolo, ‘nan elok’, dan cara menarinya pun tak mungkin begitu lincah dan gemulai.

Rute

Berdasarkan informasi yang kami dapatkan, rencana rute ekspedisi adalah “Majene - Makassar - Kep. Solomon - Kep. Tahiti - Kep. Easter - Peru - Meksiko - Los Angeles - Kep. Hawaii - Kep. Fiji - Bali/Jakarta - Bali/Jakarta - Taiwan – Jepang” demi “merekonstruksikan kembali [...] sejarah perjalanan laut bangsa-bangsa Asia”. Tak susah untuk menebak bahwa rute ini merupakan semacam napak tilas pelayaran orang-orang Austronesia menuju kawasan Polinesia – dan itulah keterangan pertama yang kami dapatkan mengenai tujuannya para petualang itu.

Hal migrasi itu dikenali dengan baik oleh banyak ilmuwan, dan terutama di Polinesia sendiri sejak tahun 1970an diadakan sekian banyak event dan petualangan yang memperingati dan ‘merekonstruksi’ penyebaran manusia terbesar melalui laut ini. Akan tetapi, para ilmuwan tahu, bahwa migrasi itu tidak menuju ke satu arah saja, tetapi terdiri dari berbagai gerakan manusia ke segala arah angin. Perlu pula dicatat, bahwa migrasi itu tidak terjadi dalam satu kali pelayaran atau satu tahap saja, tetapi menghabiskan waktu ratusan tahun dengan ribuan pelayaran, sehingga semua pulau di Samudera Pasifik didapatkan dan jadi dihuni oleh manusia.

Ada yang ironis, jika kita bersandar pada kalimat “merekonstruksi kembali, sekaligus menciptakan sejarah baru perjalanan laut bangsa-bangsa Asia dengan menggunakan kekayaan ilmu-ilmu kelautan dan pelayaran terbaik yang dimiliki oleh bangsa-bangsa Asia sendiri”, yaitu mengapa harus memodifikasi secara radikal konstruksi sandeq yang notabene merupakan “kekayaan ilmu-ilmu kelautan dan pelayaran terbaik” yang dimiliki tukang perahu Mandar? Apakah itu menyiratkan keraguan pada kemampuan sandeq mengarungi samudera luas? Mengapa tiang layarnya harus dua, baratang dan palatto-nya harus empat, dan mengapa pallayarang (tiang layar) dan palatto-nya harus dibungkus dengan fiber-glass - apakah ini kekayaan tradisi kebaharian Mandar? Cukup mengherankan pula mengapa dipakai layar segitiga jenis nade yang notabene berasal dari pengadopsian jenis layar barat sloop yang di Barat pun baru mulai digunakan pada abad ke-20 .... .

Nah, kalau ekspedisi ini memang ingin menjadi sebuah napak tilas atas sejarah orang Austronesia, maka perlu ditanyakan, mengapalah para penyelenggaranya tidak menggunakan penemuan-penemuan indigen masyarakat itu. Misalnya, kendaraan laut Austronesia yang terbukti terbaik di atas samudra luas, tipe-tipe perahu Mikronesia dan Polinesia, bukan perahu bercadik ganda, tetapi bercadik tunggal atau berbentuk katamaran – cobalah Anda simak gambar-gambar perahu pada misalnya buku standar tentang jenis-jenis perahu Austronesia oleh A.C. Haddon dan J. Hornell, Canoes of Oceania (Honolulu, 1936).

Salah satu alasannya adalah bahwa cadik ganda kemungkinan besar diciptakan setelah orang-orang yang sampai ke Polinesia meninggalkan kawasan Nusantara. Suatu alasan lain: kelihatannya, perahu bercadik ganda agak susah digunakan di samudra, karena cadiknya gampang patah kalau ‘dijepit’ antara ombak-ombak tinggi. Dari pelbagai penelitian sejarah dan etnografis diketahui bahwa jenis-jenis perahu yang dipakai di samudra lepas oleh para pelaut Austronesia paling unggul, orang Mikronesia, menggunakan katir tunggal yang dipasang sedemikian rupa agar katirnya selalu berada di sebelah atas angin. Oleh karena itu bukan daya apung katir, tetapi beratnya dan sudut jatuhnya menjadi penjamin stabilitas perahu, dan penghubung katir ke lambung, cadiknya, tak terancam patah bila kena ombak tinggi.

Nah, kesimpulannya gampang: tidak ada hubungan antara perahu yang dibuat untuk ekspedisi ini dengan perahu-perahu yang digunakan di kawasan Oseania. Jadi, sejarah apa yang mau dibuktikan dengan pelayaran ini? Dengan kata lain: apakah menggunakan ‘sandeq’ yang bukan sandeq untuk merekonstruksikan suatu sejarah yang tak pernah terjadi bukankah suatu pembodohan bagi khalayak ramai?

Ketika hal itu kami tanyakan kepada Yamamoto-San, beliau hanya ketawa: “Kalau tujuan saya sendiri bukan mengadakan satu pelayaran rekonstruksi sejarah, tetapi memperlihatkan, bahwa laut dapat mempersatukan bangsa-bangsa dunia ini!” Ya, Pak Yamamoto, kami sangatlah setuju. Tapi kok, dari apa yang ‘dijual-jual’ oleh pihak-pihak tertentu dalam proyek ini publik menyimpulkan kesan yang lain .... .Kami tahu, pelayaran ini hanya salah satu dari sekian banyak petualangan amat mengagumkan yang memang telah menjadi tujuan hidup sang penggagasnya, Yamamoto-San. Dalam berbagai diskusi dengan dia, kami sangat menghormati keberanian dan kepedulian beliau, dan kami juga tahu bahwa bukan dialah yang ingin menjual pelayaran petualangan ini sebagai suatu kegiatan semi-ilmiah. Yang harus kita sayangkan adalah para penumpang pada proyek itu – penumpang-penumpang yang tidak akan kita temui di atas perahunya.

Akan tetapi, keraguan kami tak berhenti di sini saja. Ada pun sebuah pepatah pelayar-pelayar barat yang berbunyi, “ke barat, adik, ke barat, janganlah ke timur.” Maksudnya, melawan angin timur yang terus-menerus berhembus di sabuk pasat tidak pernah mau disarankan oleh pelayar-pelayar terkemuka dunia. Misalnya, semua percobaan orang Spanyol untuk melawan angin trade winds di Samudra Pasifik itu gagal dan berakhir dalam kematian dan kehancuran - bacalah saja cerita pelayaran Saavedra dan Mendaña yang mengharukan dan memilukan itu. Pengalaman-pengalaman itu menyebabkan perahu-perahu layar Spanyol pada pelayaran Filipina - Amerika memilih sebuah rute yang melewati bagian utara Pasifik – dan rute itu pun amat susah, panjang, melelahkan, dan bahkan membahayakan.

Pelayar Polinesia memang mencoba menghadapi angin pasat itu dengan menggunakan suatu fenomena alam yang kita kenali sebagai El Niño, yaitu angin barat yang kadangkala muncul melawan angin pasat. Alasannya sama dengan yang digunakan hampir semua penemu benua baru yang cerdas, yakni coba ‘mencuri-curi jalan’ ke arah utama angin, agar ketika apa yang dicari tidak ditemukannya, sang pelayar dapat kembali cepat dengan menggunakan angin dari belakang.

Menurut keterangan-keterangan yang disampaikan Yamamoto-San dan teman-temannya, mereka berencana untuk mengambil haluan dari Tahiti ke arah selatan agar dapat menemukan angin yang menguntungkan di situ. Kawasan bagian selatan Samudra Pasifik terkenal sebagai the roaring fourties, artinya “empatpuluhan yang teriak-teriak”, suatu istilah yang menggambarkan bunyi di tali-tali tiang layar yang disebabkan oleh angin yang bertiup sangat kencang. Kawasan di antara 40o dan 50o Lintang Selatan itu terkenal sebagai salah satu wilayah laut yang paling treacherous, ‘paling berbahaya’, yang dikenali dalam dunia pelayaran. Memang, di kawasan itu terdapat angin barat yang bisa mendorong perahu ekspedisi ke Amerika – akan tetapi, angin itu amat sangat kencang, dan tidak pernah berhenti meribut ... cobalah Anda tanya ke pelayar-pelayar Australia mengenai cerita-cerita mereka akan kawasan itu. Dan cobalah Anda membayangkan berlayar dalam roaring fourties dengan sebuah perahu yang dibuat dengan terburu-buru, dengan alat keseimbangan yang tak seimbang, yang bahkan lagi dikurangi daya apungnya dengan sebuah lapisan fiberglass, suatu penambahan berat yang berkisar 10-20%.

Cermin Kepedulian?

Pertanyaan utama kami amat gampang: kalau memang mau mengharumkan nama Mandar, mengapa para pengurus proyek tidak menggunakan saja sandeq asli berukuran besar kalau yakin bahwa perahu sandeq itu dapat menempuh pelayaran tersebut. Karena ukuran, daya tahan, cara melayarkannya, dan sebagainya, teruji. Para pelaut Mandar pun sangat lincah dalam memakainya. Sekali lagi: kami sangat yakin sebuah perahu sandeq ‘biasa’ dapat menempuh pelayaran dengan rute yang direncanakan itu asal tidak dilakukan terburu-buru.

Pemerintah di segala tingkatan sangat mendukung kegiatan Spirit of Asian Voyagers Expedition. Kegiatan ini dapat mempromosikan Sulawesi Barat sebagai provinsi baru, keulungan pelaut-pelaut Mandar, dan Indonesia sebagai benua maritim. Akan tetapi, kami meragukan komitmen pemerintah terhadap kebudayaan bahari yang lebih luas. Contoh kasus yang masih mempunyai benang merah adalah Sandeq Race: sejak lomba itu mulai ditangani pemerintah pada dua tahun silam ini, para peserta tak henti-hentinya mengeluh atas cara pelaksanaannya. Apakah Sandeq Race 2005 yang tinggal kurang tiga bulan lagi sudah ada di benak pemerintah?

Tidak mengherankan kalau terjadi kekacauan dan pelecehan terhadap ketulusan dan kesahajaan pelaut Mandar: jajaran pemerintah, tepatnya sekian banyak ‘oknum’ di situ, tidak menghadapinya penuh cinta. Mereka hanya menganggap sandeq dan para pelayarnya sebagai pelengkap pada suatu komoditas dagang, komoditas pariwisata, alat untuk mengangkat gengsi daerah, dan proyek kebanggaan semu lainnya. Apakah mereka tidak menyadari, bahwa pada saat ini Sandeq Race adalah wadah terakhir yang terbukti mampu “memperpanjang nafas” tradisi kebaharian Mandar, ketika sandeq tidak dipakai lagi untuk melaut dan mencari ikan? Dan apakah mereka tahu, bahwa yang sebenarnya menjadi pewaris pengetahuan tradisi kebaharian Mandar adalah para nelayan, para pelaut, para tukang perahu, dan komunitas mereka?

Ekspedisi yang telah dimulai 15 Mei 2005 lalu adalah suatu kegiatan yang patut diapresiasi dengan baik. Penggagasnya, para tukang perahu dan pihak lain yang terlibat telah melakukan kerja keras; ratusan juta dana dikeluarkan untuk ekspedisi tersebut; dan jarak yang akan ditempuh adalah cerminan bahwa ekspedisi ini bukanlah kegiatan sembarangan.

Namun – apakah perlu lagi dan lagi orang asing harus datang untuk mengingatkan kita akan sejarah kebaharian Nusantara? Dan apakah orang-orang Indonesia harus menjadi penumpang di situ – tak mampukah bangsa ini mengadakan kegiatan serupa dan sebesar itu secara mandiri? Dan – apakah perlu ada orang-orang kita yang mengharumkan diri dengan bermacam-macam kesemuan akan sejarah, budaya dan tradisi bahari Mandar dan Nusantara?

Tidak ada komentar: