"Sibaliparriq", Peran Ganda Perempuan Mandar

Oleh Muhammad Ridwan Alimuddin
Dimuat di http://www.panyingkul.com/ tanggal 22 April 2007
************************************************

Setiap pagi di Teluk Majene puluhan perempuan menanti para pajala (nelayan yang menggunakan jaring payang) datang dari laut membawa ikan, tiap siang beberapa perempuan berjibaku sekop menggali pasir di Sungai Mandar, tiap dini hari jalan utama di Kelurahan Tinambung dilintasi perempuan-perempuan yang memanggul puluhan jerigen menuju sumber air minum. Jika ada yang bertanya, mereka sedang melakukan apa, salah satu jawabnya, mereka mempraktekkan konsep sibaliparriq.



Passauq Wai (penyedia air bersih)salah satu konsep sibaliparriq.
Foto: Muhammad Ridwan Alimuddin.



Sejatinya, konsep sibaliparriq adalah “membagi kesusahan” antara suami istri, demikian pula sebaliknya. Tapi tidak salah bila memasukkan anggota keluarga lain, misalnya anak. Namun dalam banyak pembicaraan, baik diskusi ilmiah maupun pendapat umum, sibaliparriq identik akan apa yang dilakukan kaum perempuan. Wajar, sebab perempuan “pada dasarnya” mengurusi hal domestik saja. Jika dia melakukan peran ekonomi, maka itu adalah “tambahan”, dia membantu suaminya. Banyak yang memaknai, kegiatan “tambahan” itu adalah sibaliparriq.

Sibaliparriq terdiri dari tiga suku kata, yaitu si (berhadapan), bali (lawan, musuh; bila mendapat awalan me- berarti membantu), dan parriq (susah). Jadi, secara sederhana sibaliparriq berarti saling membantu.

Dua tahun terakhir ini, 2005 dan 2006, terbit dua buku bertema sama: “sibaliparriq”. Buku pertama ditulis oleh Muhammad Idham Khalid Bodi, berjudul “Sibaliparri: Gender Masyarakat Mandar” (Graha Media Celebes, Jakarta, 210 hal.). Buku kedua dikerjakan oleh tim yang terdiri dari Jubariah, Muhammad Syariat Tadjuddin, Mansur, dan Abd. Rahman Yakin dengan judul “Siwaliparri dalam Perspektif Pemberdayaan Perempuan” (Beranda Cendekia Konsultan, Mammesa Art Community, Balaniva Publishing, Yogyakarta, 132 hal.).

Sebagai bahan pustaka tentang Mandar dan gender, kedua buku tersebut penting untuk dimiliki. Namun sayangnya, menurut saya, kedua buku ini gagal untuk hadir sebagai bacaan menarik. Idealnya, sebuah buku yang bagus akan dibaca hingga tuntas, memberikan mencerahkan dan berarti untuk dijadikan koleksi.. Tidak sebatas: beli - baca sekilas - simpan di rak - jika butuh informasi, buka lagi.

Fenomena buku yang mengangkat isu-isu penting tapi tidak berhasil muncul sebagai bacaan yang menarik, merupakan lagu lama di Indonesia. Anehnya, buku-buku berciri demikian lahir dari dunia perguruan tinggi. “Mengganti” sampul skripsi, tesis, atau disertasi dengan sampul yang menarik mata, jamak kita lihat di toko-toko buku. Padahal, membukukan sebuah hasil penelitian, apalagi dengan harapan dapat menarik minat masyarakat luas, tentu butuh upaya ekstra dalam menyesuaikan cara penyampaiannya. Sekali lagi, isinya penting, tapi tak berhasil menarik minat pembaca.

Nah, kembali ke masalah sibaliparriq, beberapa budayawan Mandar terlalu mengagungkan konsep ini. Dalam arti, ada anggapan seolah-olah konsep itu hanya ada di Mandar. Sebenarnya tidak! Hampir semua suku bangsa atau komunitas mempraktekkan konsep kerjasama antar anggota rumah tangga, mungkin istilahnya saja yang beda. Malah ada yang lebih “radikal”, misalnya etnis Ama di Jepang. Yang menjadi nelayan adalah kaum perempuan. Ya, perempuan menjadi penyelam abalon. Adapun kaum lelaki tinggal di rumah atau hanya membantu mendayung.

Bagi pembaca yang akrab dengan karya ilmiah yang dituliskan dengan populer dan memikat, sudah pasti kecewa membaca isi buku pertama, yang gaya penulisannya sangan akademis dan kaku. Dengan penyusunan bab yang meniru skripsi: Pendahuluan – Kajian Pustaka – Metode Penelitian – Bab Pembahasan – Penutup, memang tidak ada kenikmatan pembelajaran yang bisa didapatkan. Sementara buku kedua, hadir dengan mencontoh kompilasi makalah ilmiah.

Bagi saya pribadi, dengan mengacu pada pentingnya memerhatikan kualitas sebuah buku, saya memasukkan buku kedua ini ke dalam kategori “tak perlu terbit”. Alasannya, karena isinya hampir sama dengan buku pertama (buku pertama menjadi bahan pustaka di buku kedua) ditambah beberapa panduan dalam gerakan pemberdayaan gender. Kedua buku ini diberi kata pengantar oleh orang yang sama, yaitu Prof. Dr. H. Darmawan Mas’ud Rahman, M.Sc. Menurut saya, Sulawesi Barat atau Mandar tak kekurangan budayawan dan ilmuwan yang paham tentang sibaliparriq. Tapi bila niatnya mencari tokoh dengan gelar akademik berjejer sebagai upaya penasbihan, Professor Darmawan sang cendekiawan dan budayawan Mandar itu adalah orang yang tepat.

Lantas bagaimana cara yang ideal memaparkan sibaliparriq dalam sebuah buku? Saya membayangkan sebuah buku yang isinya bercerita secara dalam mengenai pelakon sibaliparriq dari beragam macam latar belakang. Bukan hanya para perempuan yang pekerjaannya telah saya paparkan di bagian awal tulisan ini, tapi juga para perempuan yang bekerja di sektor lain. Misalnya, apakah ibu-ibu PKK juga ber-sibaliparriq, atau bagaimana kaitan sibaliparriq dengan fenomena jarangnya ilmuwan dan budayawan perempuan di ranah diskusi kebudayaan Mandar, juga tentang kaum perempuan yang berkesenian, semisal Mak Cammana yang kesohor itu.

Tentunya menarik untuk melihat beragamnya model sibaliparriq dalam kehidupan keseharian. Misalnya tentang lelaki yang menjaga warung sedang sang isterinya adalah pegawai negeri, dan tentang anak-anak dalam keluarga yang ikut dalam aktivitas ekonomi (dalam kerangka sibaliparriq) yang memilih tak bersekolah, karena dirinya keenakan mendapatkan upah dari pekerjaannya.

Bila yang dihadirkan kepada pembaca adalah 101 kasus dari 102 latar belakang, maka buku yang mengupas sibaliparriq ini tak perlu mengumbar teori-teori, menurut ini … menurut itu …. Sebagai pencinta buku, saya selalu berharap buku yang saya baca bisa mendatangkan kenikmatan selain menambah pengetahuan. Singkatnya, saya selalu mendambakan buku yang menyajikan proses pembelajaran yang menyenangkan, dan saya rasa ini adalah harapan yang jamak dimiliki para pencinta buku.

Pertanyaannya, apakah para penulis buku mengenai sibaliparriq ini menemukan kesulitan untuk menuliskannya dengan memikat? Saya yakin, para penulis buku ini memiliki pengalaman yang erat berkaitan sibaliparriq di Tanah Mandar. Seharusnya pergulatan sosial dan kultur yang terakumulasi dari pengalaman demi pengalaman, disertai dengan pengamatan lapangan secara mendalam, yang dituliskan dengan menampilkan sisi kemanusiaan para pelakunya.

Penekanan seharusnya diberikan pada upaya memunculkan “suara” perempuan dan lelaki yang menjalankan sibaliparriq. Bukan sebaliknya, mengurung keleluasaan penceritaan dalam kaidah ilmiah dan teori-teori, serta menempatkan pelaku sebagai obyek penelitian semata.

Pergumulan sosial dan kultural dalam konsep sibaliparriq sebenarnya disinggung Darmawan Mas’ud dalam kata pengantarnya untuk buku kedua, dan bagi saya, seharusnya inilah yang menjadi acuan dalam penulisannya.

Buku sibaliparriq yang saya bayangkan adalah buku yang memaparkan kehidupan empiris beragam pelaku konsep sibaliparriq, karena misi yang mendesak diemban sebuah buku hasil penelitian dan kumpulan pemikiran adalah bagaimana isu yang dibahas bisa menarik hati pembaca untuk mengetahui lebih dalam mengenai sibaliparriq. Bila para penulis terjebak pada pemaparan teori-teori, pendapat ini-itu, masyarakat umum rasanya tak punya waktu untuk memahami itu semua.

Bagi saya, buku hebat tak perlu ditandai oleh puluhan judul buku di daftar pustaka, untuk menunjukkan keluasan bacaan penulisnya. Bila disuruh memilih, sebagai orang yang selalu haus mengetahui budaya kampung sendiri, saya akan memilih sebuah buku yang memaparkan pengalaman orang-orang yang melakukan konsep sibaliparriq, serta dialektika sosial, ekonomi dan kultural yang terbangun sebagai konsekuensi logisnya, dalam kehidupan masyarakat Mandar hari ini. Sayangnya, keinginan sederhana saya ini, tidak terjawab setelah membaca kedua buku tersebut.

"Sandeq" Mandar Untuk Nelayan Aceh

Dimuat di harian Kompas, Jumat, 20 Mei 2005
******************************************

WAJAH sumringah ditampakkan para nelayan penghuni barak pengungsian di Desa Alue Naga, Kecamatan Baiturrahman, Aceh Besar, Nanggroe Aceh Darussalam. Beberapa hari terakhir, mereka tak ubahnya bocah-bocah kecil yang dapat mainan baru.

Di muara Sungai Neuheun, para nelayan bergantian menjajal perahu bercadik yang baru kali ini mereka kenal. Perahu itu hasil rakitan mahasiswa perkapalan Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya dengan nelayan setempat. Di sekitar barak pengungsian, berderet 20 perahu contoh yang sudah selesai dirakit.

Namanya, perahu sandeq, model perahu nelayan tradisional Mandar (Sulawesi Barat) yang lambungnya menyerupai kano, tetapi kiri kanannya diapit cadik. Pengapit lambung-menyerupai sayap-dari bahan bambu tersebut, selain mempercantik penampilan perahu, juga berfungsi sebagai penjaga keseimbangan. Diterjang gelombang dahsyat pun perahu tetap mengapung tanpa oleng.

BAGI nelayan Aceh, perahu tersebut adalah peralatan baru untuk membantu mengais rezeki di laut. Maklum, perahu asli Tanah Rencong bermodel burung merak yang turun-temurun mereka gunakan, empat bulan lalu sudah tak bersisa dihantam tsunami.

Dalam keadaan tak punya apa-apa lagi selain baju di badan dan anggota keluarga yang tersisa, tentulah tak mudah bagi mereka untuk memiliki kembali perahu.

Sebagai wujud pengabdian kepada masyarakat, ITS menawarkan mereka sebuah perahu yang memadukan nilai kearifan lokal masyarakat pantai dengan teknologi ramah lingkungan. "Bahannya mudah didapat dan nelayan pun mudah merakitnya," ujar Kepala Pusat Studi Kelautan ITS Daniel Mohammad Rosyid PhD, Kamis (19/5).

Prototipe perahu itu berukuran panjang 4,7 meter, lebar 75 cm, dan berkapasitas angkut 300 kg ikan di luar 2-3 orang nelayan. Bahan dasarnya plywood marine, tripleks yang tak mudah lapuk karena basah atau panas. Setelah dirakit, seluruh badan kapal diplitur tahan air, diamplas, lalu dicat. Cadik dari bambu yang mengapit lambung panjangnya 4 meter.

Bentangan layar segi tiga di atas perahu menjadi bagian dari motor penggerak. Sore hari, ketika angin bertiup kencang dari darat ke laut, perahu melaju ke laut lepas. Di sanalah nelayan sepuasnya menjala ikan. Pagi hari, giliran tiupan angin berbalik arah dari laut ke darat, nelayan pun pulang ke pantai.

Biaya produksi satu perahu sekitar Rp 3,5-4 juta. Jika nelayan sudah makin berdaya dan tak ingin bergantung pada layar, mereka bisa melengkapi perahunya dengan mesin berkekuatan 5-7 tenaga kuda.

DALAM memberdayakan nelayan, ITS tak sendirian. PT Terminal Petikemas Surabaya digandeng sebagai donatur. Adapun Direktorat Pendidikan Masyarakat Depdiknas bertindak sebagai fasilitator dalam membangun pranata pemberdayaan nelayan dan pengungsi lainnya.
Pekan lalu, di Alue Naga, Direktur Pendidikan Masyarakat Depdiknas Ekodjatmiko Sukarso bersama tokoh masyarakat setempat meresmikan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Mandiri, pranata pendidikan nonformal yang berbasis nelayan.

Pascatsunami, di wilayah Aceh telah berdiri beberapa PKBM, di antaranya PKBM Lamlagang, Ar-Rahmah Seunebok, Serambi Mekah Pulo Aceh, dan Pengayoman Tunas Bangsa. Semuanya mengembangkan keaksaraan dan kecakapan hidup spesifik sesuai situasi masyarakat, seperti komputer, jahit-menjahit, otomotif, dan tata rambut.

PKBM Pengayoman Tunas Bangsa yang berbasis di Lembaga Pemasyarakatan Lhok Seumawe misalnya membina 25 eks aktivis Gerakan Aceh Merdeka.

Kedatangan LSM dan perwakilan Pemerintah Perancis bidang pendidikan di Aceh diharapkan mempererat sinergi antarpranata pemberdayaan masyarakat di Aceh. Anne-Marie Ricaldi Coquelin PhD, perwakilan Pemerintah Perancis bidang pendidikan di Indonesia, berucap, "Dengan sinergi dan tanpa prasangka, badai pasti berlalu...." (NAR)

Dihantam Ombak, Perahu Sandeq Kembali ke Jayapura

Dimuat di Kompas, Jumat, 26 Agustus 2005
***************************************

Ekspedisi keliling dunia menggunakan perahu sandeq, perahu tradisional suku Mandar, Sulawesi Barat, gagal. Perahu yang membawa enam awak dengan misi menggalang simpati dunia bagi korban bencana tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam itu kembali ke Jayapura akibat dihantam ombak besar dan angin kencang di Lautan Pasifik. Tim akan mempertimbangkan lagi rute pelayaran guna melanjutkan ekspedisi tersebut.

Koordinator tim ekspedisi Yoshiyuki Yamamoto kepada pers di Jayapura, Kamis (25/8), mengatakan, pelayaran itu banyak mendapat rintangan sehingga tim ekspedisi memutuskan kembali ke Jayapura. Perahu tradisional tersebut bertolak dari Makassar tanggal 20 Mei 2005 dan tiba di Jayapura 27 Juni 2005. Namun, perahu kemudian mengalami gangguan teknis di bagian buritan karena dihantam ombak sehingga diputuskan untuk diperbaiki di Jayapura.

Setelah hampir sebulan tim memperbaiki perahu di Jayapura, pada 1 Agustus 2005 perjalanan dilanjutkan menuju Papua Niugini (PNG), kemudian Kepulauan Salomon. Namun, saat memasuki pintu masuk Salomon, terjadi angin kencang, arus deras, dan ombak besar sehingga sandeq yang panjangnya 17,3 meter dan lebar terluas 1,7 meter itu tak sanggup menantang arus.

Setiap kali kami maju satu meter, kami mundur sampai ratusan meter. Kami coba maju sampai lima kali, tetapi tetap tidak sanggup. Akhirnya kami putuskan untuk kembali. Kalau kembali ke PNG tidak ada masalah karena perahu mengikuti arus angin sehingga butuh 10 hari dan tanggal 21 Agustus kami tiba di Jayapura, kata Yamamoto.

Sebetulnya, perairan yang diperhitungkan memiliki kondisi ombak dan gelombang paling sulit dilalui adalah di Peru dan Tahiti. Namun, saat memasuki Kepulauan Salomon, sandeq tak berdaya menghadapi ganasnya ombak.

Dari enam awak itu, dua awak adalah warga negara asing, yakni Jepang dan Taiwan, sedangkan yang lainnya adalah ahli sandeq dari Majene, Sulawesi Barat. Nakhoda perahu adalah Pamuin, orang Mandar, sementara Yamamoto bertugas membaca peta perjalanan sekaligus sebagai koordinator tim.

Sesuai dengan rute semula, perahu bertolak dari Majene-Makassar-Papua-PNG-Kepulauan Salomon-Kepulauan Tahiti-Easter Island-Peru-Pantai Amerika Selatan-Meksiko-Los Angeles- Hawaii-Kepulauan Fiji-Bali. Perjalanan ini butuh waktu tiga bulan sampai satu tahun. Jika tidak ada halangan, akhir Agustus atau awal September 2005 tim ekspedisi ini kembali ke Indonesia.Misi awal ekspedisi dunia ini, menurut Yamamoto, menggalang simpati dunia untuk membantu korban bencana tsunami di NAD. Selain itu, menunjukkan kepada dunia bahwa NAD dan dunia yang diguncang gempa tetap bangkit dan bersatu. Misi lain, pelestarian lingkungan hidup dan mempererat kerja sama di antara bangsa Asia dalam mempertahankan budaya kelautan. (KOR)

“Sandeq” yang bukan Sandeq

Oleh: Muhammad Ridwan Alimuddin & Horst H. Liebner, Peneliti Kebaharian Mandar
Dimuat di Fajar Makassar, 23 May 2005
************************************


Sejak akhir Maret 2005, di Desa Pambusuang, Kabupaten Polewali Mandar, Provinsi Sulawesi Barat, hanya berjarak beberapa puluh meter dari rumah Baharuddin Lopa yang habis terbakar, dikerjakan sebuah perahu yang agak aneh bentuknya.

Perahu itulah yang akan menjadi aktor utama pada pelayaran Spirit of Asian Voyagers Expedition (‘Ekspedisi Semangat para Pelaut Asia’), suatu ekspedisi yang katanya “Menuju Sejarah Baru Bangsa Asia!”, bertema “Save the Pacific!” dan “Sandeq for New Asian History”.

Ya, perahu itu memang ‘dijual’ sebagai sandeq. Demikianlah sebutannya di beberapa media yang memberitakan pelaksanaan kegiatan itu (misalnya Kompas, 17 Desember 2004: Perahu Sandeq Akan Jelajahi Pasifik Sejauh 40.000 Km). Juga, semacam lembaran konferensi pers yang kami dapatkan menyebutnya sebagai sandeq. Bahkan, menurut lembaran itu, perahu tersebut berjenis ‘ultra sandeq’, dijuluki demikian karena dimensinya jauh lebih besar daripada sandeq pada umumnya: panjang 16 meter, lebar 1,2 meter, dan tingginya –tak tanggung-tanggung– hampir dua meter. Ya, katanya, di Mandar pun pernah dibuat sandeq yang ukurannya hampir sama – akan tetapi, habis bertanya ke mana-mana, kami hanya dengar kabar tentang dua perahu sandeq yang ukurannya (hampir) mendekati sang ‘ultra sandeq’ ini.

Ketika kami bertanya kepada nelayan dan tukang perahu setempat mengenai jenis perahu itu, mereka pun agak bingung menjawab. Sambil bercanda, ada yang menyebutkannya sebagai “sandeq raksasa”, dan akhirnya masyarakat setempat menyebutnya sandeq bagang karena perahu tersebut agak mirip dengan alat penangkapan ikan yang bisa berpindah-pindah ini.

Jenis Perahu Sandeq

Sandeq adalah perahu bercadik khas Mandar. Sandeq digunakan untuk menangkap ikan dan berdagang, warnanya putih, bertiang layar tunggal, layarnya bersegi-tiga, dan mempunyai dua baratang (cadik) serta dua palatto (katir). Penggolongan sandeq paling tidak berdasarkan tiga karakteristik: dari segi konstruksi, peruntukkannya, dan ukuran: Sandeq yang baratang-nya dipasang di bawah geladak disebut sandeq tolor; bila cadik itu dipasang di atas dek, maka disebut sandeq bandecceng; dan perahu ‘campuran’ di antara dua jenis tadi (artinya, baratang haluan di atas, belakang buritan di pasang di bawah geladaknya) diistilahkan sandeq bencong atau calabai (waria). Ada pun atas dasar penggunaannya, sebagai misal adalah sandeq parroppong (digunakan menangkap ikan di rumpon) dan sandeq potangnga (yang digunakan untuk menangkap ikan terbang dan telurnya). Dan yang berdasarkan ukuran: umpamanya, sandeq kayyang (besar, diawaki 3-6 orang) dan sandeq keccu (kecil, diawaki 1-2 orang).

Meskipun ada beberapa jenis sandeq, namun ciri utamanya tetap sama. Na, kalau sebuah perahu bukanlah sandeq, maka ada sebutan lain, yang dapat menandai tipe-tipe perahu yang sangat jelas dan nyata ciri-cirinya. Misalnya, jenis perahu bercadik yang digunakan nelayan Mandar sebelum kemunculan sandeq, pada tahun 1930-an, dinamakan olan mesa (jenis perahu itu terdapat di lambang Kabupaten Majene) dan pakur. Memang, perahu pakur agak mirip dengan sandeq - akan tetapi, ketika mau ditelisik lebih jauh, akan tampak sekian banyak perbedaan. Perbedaan-perbedaan inilah yang menyebabkan bahwa istilah “pakur” digantikan dengan sebutan “sandeq”.

Perahu pakur menggunakan layar segi-empat (layar tanjaq), bertiang layar tunggal tetapi ukurannya lebih pendek dan kaku sebab disesuaikan dengan jenis layarnya, posisi cadik depan tidak tepat di dekat ujung haluan perahu tetapi agak ke tengah, dan baratang buritannya lebih jauh ke belakang, dekat sanggar kemudinya; bagi para nelayan Mandar perbedaan-perbedaan ini sangat jelas. Adapun kesamaan antara sandeq dan pakur: ujung haluan dan buritan berbentuk limas segi-tiga (ini adalah ciri khas pakur dan sandeq); sanggar kemudi ‘berlapis’ dua, yakni sanggilang moane (laki-laki, bagian atas) dan sanggilang baine (perempuan, bawah); satu tiang layar, dua baratang, dan dua palatto. Bagaimanapun, sebagai angkutan di laut baik pakur maupun sandeq sudah hampir punah: sejak para nelayan Indonesia melengkapi perahu-perahunya dengan mesin, perahu-perahu tak laku lagi.

Lalu bagaimana dengan perahu yang akan digunakan untuk ekspedisi itu? Bagi seorang pelaut Mandar, perahu itu jelaslah bukan sandeq. Perahu itu berukuran amat besar, memakai dua tiang dengan tiga lembar layar yang digolongkan sebagai jenis layar nade, ditambah empat baratang dan empat palatto. Jadi, bisa dikatakan, perahu itu bukan sandeq, ‘kan?

Selain daripada hal-hal ini, perahu itu menggunakan mesin yang dipasang di dalam lambung perahu, sehingga lambung buritan diubah secara radikal, dan layout geladak, interiornya dan ukiran lambung disesuaikan dengan keinginan sang pemesan. Berhadapan dengan semua modifikasi ini, salah seorang tukang perahu yang mengerjakan perahu tersebut mengatakan secara pasrah, “saya hanya ikut perintah pemesan”. Dengan istilah lain, bila perahu itu mau disebutkan sandeq, ia semacam “sandeq keturunan indo”, tidak lagi ‘berdarah asli Mandar’ meskipun dikerjakan oleh tukang perahu Mandar.

Nah, apapun jenis perahunya, sebagai pencinta kebudayaan dan tradisi bahari, kami mengharapkan pelayaran tersebut berjalan dengan sukses, sebagaimana yang diharapkan oleh para penggagasnya. Akan tetapi, selain soal sebutan alat pelayarannya, ada masalah yang jauh lebih krusial, yaitu salah satu dasar teknis perkapalan: yang namanya perahu layar selalu harus memperhatikan perhitungan stabilitas. Pada sebuah perahu sandeq ‘biasa’, soal itu dipecahkan melalui beberapa rumus perbandingan antara daya apung katir, lebarnya cadik dan besarnya layar serta bentuk lambung. Artinya, bambu katir, palatto, harus memiliki ukuran dan berat tertentu supaya dapat menyeimbangi sebuah perahu yang berukuran tertentu; dan karena palatto itu sangat penting untuk menciptakan stabilitas dalam berlayar itu, maka bambu yang dipakai dikerjakan dengan amat seksama dan lama.

Apa artinya bagi perahu ‘ultra-sandeq’ itu? Jelas, palatto-nya harus ‘ultra’ juga, artinya, daya apung yang ditimbulkan oleh bambu penyeimbang itu harus sesuai dengan daya-daya yang disebabkan oleh angin dan ombak yang ingin membalikkan perahu. Akan tetapi, bambu yang ukurannya sesuai dengan sebuah perahu yang sebesar perahu ekspedisi itu tak pernah ada, sederhananya, secara alami, bambu bagaimanapun tak pernah tumbuh dalam ukuran yang diperlukan itu. Konon ceritanya, kedua perahu sandeq raksasa buatan Mandar yang disebtukan sebelumnya memakai ‘katir dobel’, artinya, dua batang bambu dipasang sejajar pada masing-masing sisi perahu agar daya apung palatto dapat menahan keseimbangan perahu.

Pada perahu ekspedisi Borobudur ke Afrika 2003-2004 hal itu diantisipasi dengan menggunakan lambung perahu lebar yang dengan ini memiliki stabilitas yang inheren. Para ahli perkapalan yang dilibatkan dalam pelayaran Borobudur itu dari awal sadar, bahwa mereka takkan mendapatkan bambu katir yang dapat menyeimbangi perahu. Sebaliknya, mereka menyimpulkan, bahwa tujuan utama penggunaan katir dan cadik pada perahu-perahu abad ke-9 bukan guna menjaga stabilitasnya, tetapi lebih-lebih sebagai tempat yang sangat cocok untuk mendayung.

Jadi, apa solusinya bagi para petualang Asian Spirit itu? Karena memang tiada bambu yang panjangnya sesuai dengan yang mereka perlukan, diputuskan memasang dua pasang katir dan cadik. Hal itu tak dapat memecahkan masalah volume palatto, kriterium pertama yang menentukan daya apungnya. Malahan lagi, karena ternyata mereka tidak mendapatkan palatto yang siap pakai, maka diputuskan memesan bambu baru dari hutan – dengan melupakan, bahwa bambu yang basah adalah sekitar tiga sampai empat kali lebih berat daripada bambu kering, sehingga daya apungnya hanya sepertiga atau seperempat dari bambu kering.

Bukan tanpa alasan para pelaut Mandar selalu menggunakan bambu yang dikeringkan melalui sebuah proses rumit yang memerlukan empat sampai enam bulan. Dan, sebenarnya, hal itu berlaku juga untuk kayu yang mau dijadikan perahu.

Ketika kami terangkan cara pembuatan palatto dan mengingatkan mereka akan bahaya yang akan mereka hadapi bila menggunakan katir dan papan lambung yang tidak kering, penterjemahnya tidak bersedia untuk menyampaikan peringatan-peringatan kami kepada sang pemimpin ekspedisi ini, Yamamoto-San. Malahan, jawaban yang diberikan oleh juru bahasa itu kepada kami cukup mengherankan: “Semua yang ikut sudah tahu konsekuensinya.”

Bagi orang yang bukan ahli perkapalan: cobalah kita simak sebuah analogi. Apakah Anda akan mengendarai sebuah mobil yang velgnya bengkok sampai ke Menado? Bila Anda tidak tahu bawah mobil memerlukan ban bundar? Ya, mungkin, tapi apakah Anda akan tiba dengan selamat? Atau: Kalau tahu bahwa ban Anda tidak bundar, dan mengerti bahwa bannya seharusnya bundar, apakah Anda akan menggunakannya? Dalam kasus ini: ekspedisi itu tidak hanya akan sampai ke Menado, tetapi menempuh suatu pelayaran lebih dari 30.000 mil laut - ke Menado hanya sekitar 1.500 km, artinya itu hanya sepersekian dari rute pelayaran yang maunya ditempuh dengan “ban tidak bundar” tersebut.

Bagaimanapun, setelah kami memperlihatkan perbedaan beratnya bambu kering dan basah secara langsung kepada Yamamoto-San dengan menggunakan dua batang bambu yang demikian, diputuskan meminta bambu palatto dari para pemilik perahu sandeq lomba; kami pun ikut mengorbankan salah satu palatto milik kami. Akan tetapi – bambu-bambu katir itu sesuai dengan perahu berukuran sampai 12 meter saja; bila dipasang pada sebuah perahu yang 1/3 kali lebih panjang daripada perahu sandeq lomba terpanjang, maka, secara logis, tinggallah 2/3 dari daya apung awalnya, bukan?

Bukan hanya kami yang risau akan hal-hal ini. Salah seorang tukang perahu yang disegani di Mandar pun dengan otoritas pengetahuan yang dimilikinya mengkhawatirkan akan jumlah susunan papan lambung yang terlalu banyak dan yang posisinya tegak lurus terhadap tekanan air. Seharusnya, perahu yang terdiri dari beberapa susunan papan lambungnya dibuat melebar agar stabilitas yang terancam oleh ketinggian itu dapat diseimbangi. Cobalah saja Anda simak perbedaan antara sebuah buku yang ditegakkan di atas sisi punggungnya dengan sebuah buku yang dibaringkan di atas sisi sampulnya!

Di sini perlu dijelaskan, bahwa sebuah perahu sandeq ‘biasa’ hanya terdiri dari belang (kayu gelondongan yang dikeruk bagian tengahnya) sebagai dasar perahu dan satu atau dua urat papan tambahan. Dan paling banter tingginya sekitar satu meter – sementara bentuk lambung perahu yang akan digunakan ekspedisi tersebut terdiri dari belang dan lima urat tambahan, sehingga lambungnya mencapai ukuran hampir dua meter. Tidak apa-apa jika lambungnya agak lebar – akan tetapi, yang terjadi adalah lebarnya tidak jauh berbeda dengan sandeq pada umumnya, yakni amat ramping. Sederhananya, lambung perahu sendiri sama sekali tak stabil, dan alat penambah stabilitas, yaitu palatto, tak sesuai ukurannya, sehingga rawan terbalik.

Ada seorang nelayan Mandar yang meminta masukan ketika ada tawaran kepada dia sebagai salah seorang calon pelayar pada ekspedisi tersebut. Maksudnya, jika ekspedisi tersebut menggunakan judul pelayaran dengan sandeq, apa yang terjadi jika ekspedisi tersebut gagal, misalnya perahu rusak? Sandeq yang menjadi kambing hitam? Apakah nanti takkan ada komentar-komentar seperti “ternyata sebatas itu kemampuan sandeq”?

Sebenarnya, ketika Yamamoto-San pertama kali menemui kami dan menanyai pendapat kami, secara langsung kami menyarankan agar ekspedisi itu sebaiknya menggunakan dua perahu sandeq ‘biasa’ saja – semua kesulitan-kesulitan tentang jadwal pembuatannya yang sagat mepet dan sekian banyak masalah teknis terpecahkan dengan otomatis, dan kami cukup yakin bahwa sebuah perahu sandeq yang dipersiapkan dengan baik dapat menempuh pelayaran itu. Bagaimanapun, yang terjadi saat ini adalah sandeq Mandar hanya menjadi semacam inspirasi bagi tim petualang itu – dan kelaiklautan sandeq dikorbankan atas nama inspirasi itu.

Mungkin kekhawatiran sang pelaut Mandar tadi, apakah nanti takkan ada kesalahpahaman bagi orang yang tidak mengetahui bentuk sandeq yang sebenarnya? Maksudnya, ketika mereka melihat perahu tersebut baik lewat foto, film, atau secara langsung, maka mereka akan menganggap bahwa itulah ‘sang penari di atas ombak itu’ – padahal pelaut itu sendiri tahu, bahwa perahu ekspedisi ini bukanlah sebuah sandeq na malolo, ‘nan elok’, dan cara menarinya pun tak mungkin begitu lincah dan gemulai.

Rute

Berdasarkan informasi yang kami dapatkan, rencana rute ekspedisi adalah “Majene - Makassar - Kep. Solomon - Kep. Tahiti - Kep. Easter - Peru - Meksiko - Los Angeles - Kep. Hawaii - Kep. Fiji - Bali/Jakarta - Bali/Jakarta - Taiwan – Jepang” demi “merekonstruksikan kembali [...] sejarah perjalanan laut bangsa-bangsa Asia”. Tak susah untuk menebak bahwa rute ini merupakan semacam napak tilas pelayaran orang-orang Austronesia menuju kawasan Polinesia – dan itulah keterangan pertama yang kami dapatkan mengenai tujuannya para petualang itu.

Hal migrasi itu dikenali dengan baik oleh banyak ilmuwan, dan terutama di Polinesia sendiri sejak tahun 1970an diadakan sekian banyak event dan petualangan yang memperingati dan ‘merekonstruksi’ penyebaran manusia terbesar melalui laut ini. Akan tetapi, para ilmuwan tahu, bahwa migrasi itu tidak menuju ke satu arah saja, tetapi terdiri dari berbagai gerakan manusia ke segala arah angin. Perlu pula dicatat, bahwa migrasi itu tidak terjadi dalam satu kali pelayaran atau satu tahap saja, tetapi menghabiskan waktu ratusan tahun dengan ribuan pelayaran, sehingga semua pulau di Samudera Pasifik didapatkan dan jadi dihuni oleh manusia.

Ada yang ironis, jika kita bersandar pada kalimat “merekonstruksi kembali, sekaligus menciptakan sejarah baru perjalanan laut bangsa-bangsa Asia dengan menggunakan kekayaan ilmu-ilmu kelautan dan pelayaran terbaik yang dimiliki oleh bangsa-bangsa Asia sendiri”, yaitu mengapa harus memodifikasi secara radikal konstruksi sandeq yang notabene merupakan “kekayaan ilmu-ilmu kelautan dan pelayaran terbaik” yang dimiliki tukang perahu Mandar? Apakah itu menyiratkan keraguan pada kemampuan sandeq mengarungi samudera luas? Mengapa tiang layarnya harus dua, baratang dan palatto-nya harus empat, dan mengapa pallayarang (tiang layar) dan palatto-nya harus dibungkus dengan fiber-glass - apakah ini kekayaan tradisi kebaharian Mandar? Cukup mengherankan pula mengapa dipakai layar segitiga jenis nade yang notabene berasal dari pengadopsian jenis layar barat sloop yang di Barat pun baru mulai digunakan pada abad ke-20 .... .

Nah, kalau ekspedisi ini memang ingin menjadi sebuah napak tilas atas sejarah orang Austronesia, maka perlu ditanyakan, mengapalah para penyelenggaranya tidak menggunakan penemuan-penemuan indigen masyarakat itu. Misalnya, kendaraan laut Austronesia yang terbukti terbaik di atas samudra luas, tipe-tipe perahu Mikronesia dan Polinesia, bukan perahu bercadik ganda, tetapi bercadik tunggal atau berbentuk katamaran – cobalah Anda simak gambar-gambar perahu pada misalnya buku standar tentang jenis-jenis perahu Austronesia oleh A.C. Haddon dan J. Hornell, Canoes of Oceania (Honolulu, 1936).

Salah satu alasannya adalah bahwa cadik ganda kemungkinan besar diciptakan setelah orang-orang yang sampai ke Polinesia meninggalkan kawasan Nusantara. Suatu alasan lain: kelihatannya, perahu bercadik ganda agak susah digunakan di samudra, karena cadiknya gampang patah kalau ‘dijepit’ antara ombak-ombak tinggi. Dari pelbagai penelitian sejarah dan etnografis diketahui bahwa jenis-jenis perahu yang dipakai di samudra lepas oleh para pelaut Austronesia paling unggul, orang Mikronesia, menggunakan katir tunggal yang dipasang sedemikian rupa agar katirnya selalu berada di sebelah atas angin. Oleh karena itu bukan daya apung katir, tetapi beratnya dan sudut jatuhnya menjadi penjamin stabilitas perahu, dan penghubung katir ke lambung, cadiknya, tak terancam patah bila kena ombak tinggi.

Nah, kesimpulannya gampang: tidak ada hubungan antara perahu yang dibuat untuk ekspedisi ini dengan perahu-perahu yang digunakan di kawasan Oseania. Jadi, sejarah apa yang mau dibuktikan dengan pelayaran ini? Dengan kata lain: apakah menggunakan ‘sandeq’ yang bukan sandeq untuk merekonstruksikan suatu sejarah yang tak pernah terjadi bukankah suatu pembodohan bagi khalayak ramai?

Ketika hal itu kami tanyakan kepada Yamamoto-San, beliau hanya ketawa: “Kalau tujuan saya sendiri bukan mengadakan satu pelayaran rekonstruksi sejarah, tetapi memperlihatkan, bahwa laut dapat mempersatukan bangsa-bangsa dunia ini!” Ya, Pak Yamamoto, kami sangatlah setuju. Tapi kok, dari apa yang ‘dijual-jual’ oleh pihak-pihak tertentu dalam proyek ini publik menyimpulkan kesan yang lain .... .Kami tahu, pelayaran ini hanya salah satu dari sekian banyak petualangan amat mengagumkan yang memang telah menjadi tujuan hidup sang penggagasnya, Yamamoto-San. Dalam berbagai diskusi dengan dia, kami sangat menghormati keberanian dan kepedulian beliau, dan kami juga tahu bahwa bukan dialah yang ingin menjual pelayaran petualangan ini sebagai suatu kegiatan semi-ilmiah. Yang harus kita sayangkan adalah para penumpang pada proyek itu – penumpang-penumpang yang tidak akan kita temui di atas perahunya.

Akan tetapi, keraguan kami tak berhenti di sini saja. Ada pun sebuah pepatah pelayar-pelayar barat yang berbunyi, “ke barat, adik, ke barat, janganlah ke timur.” Maksudnya, melawan angin timur yang terus-menerus berhembus di sabuk pasat tidak pernah mau disarankan oleh pelayar-pelayar terkemuka dunia. Misalnya, semua percobaan orang Spanyol untuk melawan angin trade winds di Samudra Pasifik itu gagal dan berakhir dalam kematian dan kehancuran - bacalah saja cerita pelayaran Saavedra dan Mendaña yang mengharukan dan memilukan itu. Pengalaman-pengalaman itu menyebabkan perahu-perahu layar Spanyol pada pelayaran Filipina - Amerika memilih sebuah rute yang melewati bagian utara Pasifik – dan rute itu pun amat susah, panjang, melelahkan, dan bahkan membahayakan.

Pelayar Polinesia memang mencoba menghadapi angin pasat itu dengan menggunakan suatu fenomena alam yang kita kenali sebagai El Niño, yaitu angin barat yang kadangkala muncul melawan angin pasat. Alasannya sama dengan yang digunakan hampir semua penemu benua baru yang cerdas, yakni coba ‘mencuri-curi jalan’ ke arah utama angin, agar ketika apa yang dicari tidak ditemukannya, sang pelayar dapat kembali cepat dengan menggunakan angin dari belakang.

Menurut keterangan-keterangan yang disampaikan Yamamoto-San dan teman-temannya, mereka berencana untuk mengambil haluan dari Tahiti ke arah selatan agar dapat menemukan angin yang menguntungkan di situ. Kawasan bagian selatan Samudra Pasifik terkenal sebagai the roaring fourties, artinya “empatpuluhan yang teriak-teriak”, suatu istilah yang menggambarkan bunyi di tali-tali tiang layar yang disebabkan oleh angin yang bertiup sangat kencang. Kawasan di antara 40o dan 50o Lintang Selatan itu terkenal sebagai salah satu wilayah laut yang paling treacherous, ‘paling berbahaya’, yang dikenali dalam dunia pelayaran. Memang, di kawasan itu terdapat angin barat yang bisa mendorong perahu ekspedisi ke Amerika – akan tetapi, angin itu amat sangat kencang, dan tidak pernah berhenti meribut ... cobalah Anda tanya ke pelayar-pelayar Australia mengenai cerita-cerita mereka akan kawasan itu. Dan cobalah Anda membayangkan berlayar dalam roaring fourties dengan sebuah perahu yang dibuat dengan terburu-buru, dengan alat keseimbangan yang tak seimbang, yang bahkan lagi dikurangi daya apungnya dengan sebuah lapisan fiberglass, suatu penambahan berat yang berkisar 10-20%.

Cermin Kepedulian?

Pertanyaan utama kami amat gampang: kalau memang mau mengharumkan nama Mandar, mengapa para pengurus proyek tidak menggunakan saja sandeq asli berukuran besar kalau yakin bahwa perahu sandeq itu dapat menempuh pelayaran tersebut. Karena ukuran, daya tahan, cara melayarkannya, dan sebagainya, teruji. Para pelaut Mandar pun sangat lincah dalam memakainya. Sekali lagi: kami sangat yakin sebuah perahu sandeq ‘biasa’ dapat menempuh pelayaran dengan rute yang direncanakan itu asal tidak dilakukan terburu-buru.

Pemerintah di segala tingkatan sangat mendukung kegiatan Spirit of Asian Voyagers Expedition. Kegiatan ini dapat mempromosikan Sulawesi Barat sebagai provinsi baru, keulungan pelaut-pelaut Mandar, dan Indonesia sebagai benua maritim. Akan tetapi, kami meragukan komitmen pemerintah terhadap kebudayaan bahari yang lebih luas. Contoh kasus yang masih mempunyai benang merah adalah Sandeq Race: sejak lomba itu mulai ditangani pemerintah pada dua tahun silam ini, para peserta tak henti-hentinya mengeluh atas cara pelaksanaannya. Apakah Sandeq Race 2005 yang tinggal kurang tiga bulan lagi sudah ada di benak pemerintah?

Tidak mengherankan kalau terjadi kekacauan dan pelecehan terhadap ketulusan dan kesahajaan pelaut Mandar: jajaran pemerintah, tepatnya sekian banyak ‘oknum’ di situ, tidak menghadapinya penuh cinta. Mereka hanya menganggap sandeq dan para pelayarnya sebagai pelengkap pada suatu komoditas dagang, komoditas pariwisata, alat untuk mengangkat gengsi daerah, dan proyek kebanggaan semu lainnya. Apakah mereka tidak menyadari, bahwa pada saat ini Sandeq Race adalah wadah terakhir yang terbukti mampu “memperpanjang nafas” tradisi kebaharian Mandar, ketika sandeq tidak dipakai lagi untuk melaut dan mencari ikan? Dan apakah mereka tahu, bahwa yang sebenarnya menjadi pewaris pengetahuan tradisi kebaharian Mandar adalah para nelayan, para pelaut, para tukang perahu, dan komunitas mereka?

Ekspedisi yang telah dimulai 15 Mei 2005 lalu adalah suatu kegiatan yang patut diapresiasi dengan baik. Penggagasnya, para tukang perahu dan pihak lain yang terlibat telah melakukan kerja keras; ratusan juta dana dikeluarkan untuk ekspedisi tersebut; dan jarak yang akan ditempuh adalah cerminan bahwa ekspedisi ini bukanlah kegiatan sembarangan.

Namun – apakah perlu lagi dan lagi orang asing harus datang untuk mengingatkan kita akan sejarah kebaharian Nusantara? Dan apakah orang-orang Indonesia harus menjadi penumpang di situ – tak mampukah bangsa ini mengadakan kegiatan serupa dan sebesar itu secara mandiri? Dan – apakah perlu ada orang-orang kita yang mengharumkan diri dengan bermacam-macam kesemuan akan sejarah, budaya dan tradisi bahari Mandar dan Nusantara?

Perahu Sandeq Akan Jelajahi Pasifik Sejauh 40.000 Km

Dimuat di Kompas, Jumat, 17 Desember 2004
*****************************************

Setelah kapal Phinisi Nusantara melayari samudra luas di dunia, kini perahu sandeq, yaitu perahu tradisional suku Mandar, Sulawesi Barat, akan melayari Lautan Pasifik sejauh 40.000 kilometer.

Rute perjalanan akan dimulai dari Makassar, kemudian menuju ke Papua Niugini, Peru (Amerika Selatan), Los Angeles (Amerika Serikat), Hawaii, Mikronesia, dan Filipina. Petualangan yang dijadwalkan Februari 2005 hingga April 2006 itu akan didukung pelaut-pelaut dari Jepang, Taiwan, Filipina, Malaysia, dan Brunei.

Menurut koordinator penyelenggara, Irwan F Uno, dalam jumpa pers di Makassar, Kamis (16/12), pelayaran ini diperkirakan memakan waktu sekitar satu tahun. Tema yang hendak didengungkan dalam ekspedisi bertajuk "Spirit of Asian Voyagers" ini adalah untuk mengingatkan kejayaan bangsa Asia dalam petualangan bahari sejak ribuan tahun silam.
Menurut Yoshiyuki Yamamoto, pencetus ide yang juga akan menjadi salah seorang awak perahu, petualangan ini bakal mengangkat citra bangsa Asia terutama suku Mandar. Karena itu, dibutuhkan kerja sama antarnegara.

"Kalau hanya satu negara saja sangat sulit. Karena itu, kerja sama antarnegara di Asia sangat penting. Apabila kami nanti tiba di Amerika Serikat, perhatian dunia akan tertuju pada perahu sandeq ini," papar Yamamoto.

Asas Persaudaraan

Menurut Chinku Chen, pengelana dari Taiwan, "Dengan asas saling percaya, persaudaraan, bahkan kerelaan untuk mempersembahkan jiwa raga kepada sesama rekan, ekspedisi ini akan membawa awak perahu bersama-sama mengarungi Samudra Pasifik yang luas."
Saat ini perahu sandeq yang akan digunakan tengah disiapkan di Desa Pambusuang, Kabupaten Polewali Mandar, Sulbar, dipimpin H Zainuddin.

Direncanakan, pembuatan perahu selesai pada Februari 2005. Perahu sandeq itu berukuran panjang 17 meter, lebar dua meter (dengan cadik kiri-kanan 2 x 4 meter), tinggi 1,8 meter. Selain dilengkapi layar sebagai tenaga pendorong utama, juga akan dilengkapi mesin berdaya 10 HP (tenaga kuda), serta alat navigasi modern. Biaya pembuatan perahu itu sekitar 70.000 dollar AS.Zulkifli Gani Otto, Ketua Kompartemen Promosi dan Media Massa Kadin Sulsel, berjanji akan membantu mempromosikan ekspedisi tersebut. (ssd)

Lomba Perahu Sandeq Mengenang Baharuddin Lopa

Dimuat di Kompas, Kamis, 12 Juli 2001
***********************************

Atas permintaan berbagai kalangan, terutamanya masyarakat Mandar, lomba perahu tradisional sandeq atau Sandeq Race yang kelima tahun 2001 ini dilaksanakan untuk mengenang almarhum Baharuddin Lopa. Selama empat tahun sebelumnya, Sandeq Race selalu diadakan untuk memperingati hari Kemerdekaan RI.

Demikian antara lain keputusan Tim Penyelenggara Sandeq Race V dalam sebuah pertemuan di Makassar, Rabu (11/7). Menurut penasihat senior Sandeq Race Dr Kolin Dg Matutu, keputusan ini diambil selain atas permintaan banyak kalangan, juga karena Baharuddin Lopa, lahir di Pambusuang, pusat pembuatan perahu sandeq dan desa asal sekian banyak peserta Sandeq Race.

"Pak Lopa memang lahir di Pambusuang, desa asal sekian banyak peserta Sandeq Race. Apalagi seperti tahun-tahun sebelumnya, lomba tahun ini pun diikuti puluhan peserta yang masih bertalian darah dengan beliau. Bahkan, keluarga besar Baharuddin Lopa tecatat sebagai pemilik beberapa perahu yang ikut dalam ajang lomba perahu tradisional terberat dan terpanjang di dunia ini," jelas Matutu.

Ia menambahkan, hal lain yang membedakan Sandeq Race tahun ini dengan tahun-tahun sebelumnya adalah keberanian dan kejujuran Baharuddin Lopa yang akan menjiwai para passandeq dalam mengikuti lomba.

Lomba perahu sandeq tahun ini menurut rencana akan diikuti oleh 30 perahu sandeq terkemuka. Dari Pambusuang dan Majene dikabarkan para nelayan sudah mempersiapkan perahunya untuk berlomba. "Saat ini sebagin besar nelayan yang akan ikut lomba sudah tidak turun melaut. Mereka sibuk mempersiapkan perahunya. Untuk mengikuti lomba, para nelayan tidak begitu terbebani karena tim penyelenggara menyiapkan sejumlah dana untuk persiapan lomba," jelas M Safar, koordinator lapangan tim penyelengara.

Sementara itu, Ketua Tim Penyelenggara, Horst Liebner mengatakan, sudah mendapat sinyal dari beberapa media elektronik dan cetak asing untuk meliput lomba perahu tradisional ini. "Sandeq Race 2001 sudah diincar oleh beberapa produsen film asing sebagai topik berita dan film dokumenter. Salah satunya adalah NHK, televisi Pemerintah Jepang. Selain itu beberapa wartawan media cetak dan elektronik lainnya dari Perancis, Belanda, Jerman, dan Inggris juga sudah berencana datang," jelas Horst. Lomba perahu ini selain menjadi ajang untuk mempromosikan berbagai potensi kekayaan alam dan pariwisata di Sulsel, juga dapat memberi gambaran kepada pihak luar tentang keadaan di Indonesia. (ren)

Perahu Sandeq Makin Tersisih

Dimuat di harian Fajar Makassar, 3 Oktober 2005
********************************************

SANDEQ, perahu tradisional Mandar merupakan warisan leluhur sebagai sarana para nelayan untuk mencari ikan di laut sebagai mata pencaharian. Selain itu, sebagai sarana transportasi para pedagang pada masa silam mengarungi lautan untuk menjual hasil bumi. Perahu Sandeq, mempunyai ciri khas yang membedakan dengan kebanyakan perahu bercadik lainnya. Bahkan, Sandeq telah dilayarkan oleh bangsa asing mengarungi samudera, seperti ke Australia dan Amerika.

Perahu bercadik yang ujungnya berbentuk runcing (lancip) dan catnya rata-rata putih bersih itu kini digantikan perahu bermesin yang kebanyakan digunakan nelayan Mandar sejak beberapa tahun terakhir. Kini, Sandeq makin tersisih. Para nelayan, lebih memilih perahu bermesin dengan berbagai alasan. "Menggunakan kapal lebih praktis karena digerakkan mesin, sedangkan dengan sandeq kita bergantung pada angin," Syarifuddin, nelayan Ba'barura, Desa Tangngatangnga, Kecamatan Tinambung, menjelaskan.

Perahu bermotor lebih dikenal dengan sebutan kapal karena menggunakan mesin sama dengan kapal motor. Karena ketergantungan pada mesin, tidak sedikit nelayan tetap menggunakan perahu jenis Sandeq yang dilengkapi dengan mesin.

Para nelayan yang sebelumnya mengandalkan Sandeq, berargumen bahwa 'kapal' lebih praktis. Tidak membutuhkan tempat yang luas untuk berlabuh atau sekadar merapat di pantai untuk menjual ikan hasil tangkapan di laut. Mereka kesulitan juga mencari tempat saat merapat di pantai karena sayap Sandeq sangat gampang bersenggolan dengan perahu lainnya.

Sandeq yang menjadi kebanggaan masyarakat Mandar, kini hanya difungsikan untuk lomba perahu yang belakangan populer dengan "Sandeq race" sebagai agenda tahunan menjelang HUT Proklamasi. Perahu sandeq yang beberapa tahun lalu banyak terlihat di pantai, kini berganti dengan jejeran perahu bermotor. Yang masih tersisa dapat dihitung dengan jari hanya menjadi 'penunggu' pantai. Model Sandeq masih ditemukan juga dalam bentuk lepa-lepa yaitu perahu kecil yang digunakan nelayan melaut tidak jauh dari pantai.

Fenomena Sandeq, selayaknya mendapat perhatian. Selain untuk melestarikan salah satu kebanggaan masa silam, juga untuk menyelamatkan modal yang tidak sedikit untuk membangun sebuah perahu sandeq. Membangun sebuah sandeq ukuran sederhana yaitu 3-4 ton diperlukan modal Rp6-7 juta. Sandeq yang dilengkapi beberapa peralatan khusus, membutuhkan tambahan biaya sedikitnya Rp2,5 juta. "Paling tidak kita harus sedia Rp10 juta," demikian Zubaer, pemilik beberapa perahu sandeq. Jumlah itu, kurang lebih sama untuk pembangunan sebuah kapal motor.

Dalam buku "Polmas dalam Angka 2004", perahu tidak bermotor (jenis sandeq) tercatat 536, motor tempel 522 dan kapal motor 455 unit. Pada 2002 lalu, sandeq berjumlah 713 dan kapal motor 373 unit. Di Kecamatan Tinambung, jumlah kapal motor 151, sedangkan perahu 39 unti. Jumlah lebih sedikit, 33 unit di Kecamatan Balanipa dibanding kapal motor sebanyak 199 unit. Sandeq memang merupakan kebanggaan, tapi pada suatu saat hanya akan menjadi kenangan masa silam tanpa upaya yang kongkret untuk menyelamatkannya.

Mandar Berbenah dalam Bingkai Sulawesi Barat

Diambil dari Kompas Online, Jumat, 7 September 2007
*************************************************
Sebelum lepas dari Provinsi Sulawesi Selatan, wilayah Sulawesi Barat saat ini dulu lebih dikenal sebagai daerah Mandar. Sebutan itu mengacu pada mayoritas penduduknya yang berasal dari etnis Mandar.

Sejak berdiri sendiri sebagai Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar) 5 Oktober 2004, daerah ini terus berbenah mengejar ketertinggalan. Maklum, dulu terpinggirkan.

Wilayah Sulbar meliputi Kabupaten Mamuju, Mamuju Utara, Majene, Polewali Mandar, dan Mamasa. Jalan penghubung antarkabupaten sudah beraspal, dengan transportasi yang mudah dari simpul utama di Makassar, Sulawesi Selatan. Dari Makassar, untuk mencapai ibu kota Sulbar, Mamuju, dibutuhkan waktu sekitar 10 jam melalui darat.

Provinsi baru ini mengandalkan sektor perkebunan kakao, kelapa sawit, dan perikanan tangkap. Kelompok sektor pertanian itu menyumbang sekitar 55 persen (2005) dari total Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB).

Perkebunan kakao dan kelapa sawit menjadi sektor yang diunggulkan. Lahan kakao yang sudah diusahakan mencapai 99.000 hektar (ha) dengan produksi 76.000 ton. Kelapa sawit baru 10.000 ha, tetapi lahan yang tersedia 45.000 ha. Perkebunan kelapa sawit terbesar ada di Mamuju.

Sektor perikanan tangkap juga menjadi andalan dengan turunannya industri pengolahan ikan. Sektor ini banyak ditekuni karena terbatasnya lahan pertanian. "Di sini lebih banyak pegunungan batu yang setengah mati mengolahnya. Pertanian tidak mungkin berkembang," ujar Kaharuddin (28), warga Dusun Balemban, Pambusuang, Polewali Mandar.

Di kampung-kampung nelayan itu berkembang juga industri rumah tangga seperti tenun sutra dan pengasapan ikan. Industri rumah tangga itu belum berkembang karena dukungan modal, peralatan, dan pemasaran masih lemah.

Di sektor pariwisata, Sulbar baru dikenal dengan Sandeq Race. Lomba balapan perahu sandeq itu menjadi gelaran akbar yang menyedot wisatawan lokal, tetapi belum mampu menarik wisatawan asing.

Pembangunan sektor pariwisata menjadi perhatian Gubernur Sulbar Anwar Adnan Saleh, dengan mengalokasikan dana sekitar Rp 300 juta untuk sandeq race yang dikaitkan dengan promosi beberapa lokasi wisata lain, yaitu Pulau Karampuan, Kuburan Tua Laksa Laga, Masjid Nurut Taubah Lapeo di Polewali Mandar, dan Pantai Bahari Lombang-Lombang Mamuju. Sulbar memang belum mencapai perkembangan yang memuaskan. Mamuju belum bisa menjadi bandar besar untuk mengimbangi Makassar.

Padahal, Kerajaan Mandar pernah berjaya di abad ke-16, dengan membentuk federasi tujuh kerajaan di muara sungai (pitu ba'bana binanga). Federasi itu kemudian bergabung dengan tujuh kerajaan di hulu sungai (pitu ulunna salu).

Maka, Mandar yang pernah tergabung dalam federasi pitu ba'bana binanga dan pitu ulunna salu harus dimaknai kembali untuk membangun Sulbar. Di era otonomi daerah, kebijakan di tingkat kabupaten harus sinkron dengan provinsi untuk mempercepat pembangunan.

Semangat itulah yang harus memotivasi masyarakat Mandar dalam mewujudkan kesejahteraan dalam bingkai Sulbar.

Sandeq dan Kearifan Lokal Suku Mandar

Diambil dari Kompas Online, Jumat, 7 September 2007
*************************************************

Oleh AGUNG SETYAHADI

Majene di Sulawesi Barat kembali disebut-sebut menyusul keberhasilan pengangkatan kotak hitam pesawat Adam- Air beberapa waktu lalu. Wilayah yang didiami etnis Mandar ini sempat hilang dari ingatan selama puluhan tahun. Di era 1930-1980, Majene dikenal sebagai kampungnya pelaut ulung berperahu sandeq.

Sandeq adalah perahu layar tradisional khas Mandar. Sekilas, sandeq terkesan rapuh, tetapi di balik itu ternyata tersimpan kelincahan. Panjang lambungnya 7-11 meter dengan lebar 60-80 sentimeter. Di kiri-kanannya dipasang cadik dari bambu sebagai penyeimbang.

Sandeq mengandalkan dorongan angin yang ditangkap layar berbentuk segitiga. Layar itu mampu mendorong sandeq hingga kecepatan 20 knot. Kecepatan maksimum melebihi laju perahu motor seperti katinting, kappal, dan bodi-bodi.

"Kalau diibaratkan orang, sandeq berlari dan perahu lainnya berjalan," ujar Muhammad Ridwan Alimuddin, peneliti sandeq berdarah Mandar.

Horst H Liebner, peneliti sandeq asal Jerman, menilai, tidak ada perahu tradisional yang sekuat dan secepat sandeq yang menjadi perahu tradisional tercepat di Austronesia. Meski kelihatan rapuh, sandeq tangguh mengarungi laut lepas Selat Makassar antara Sulawesi dan Kalimantan.
Sandeq juga sanggup bertahan menghadapi angin dan gelombang saat mengejar kawanan ikan tuna. Para ’insinyur’ sandeq tampaknya sangat cermat merancang perahu yang tangguh untuk memburu kawanan ikan. Sebab, Teluk Mandar memang langsung berhadapan dengan laut dalam tanpa penghalang, dengan angin kencang dan gelombang besar.

Sandeq harus bisa melaju cepat mengejar kawanan tuna yang sedang bermigrasi. Saat musim ikan terbang bertelur, nelayan menggunakan sandeq untuk memasang perangkap telur dari rangkaian daun kelapa dan rumput laut.

Ikan dan telur ikan menjadi andalan utama ekonomi keluarga nelayan Mandar. Kepada pedagang perantara, para nelayan menjual telur ikan terbang bisa mencapai Rp 300.000 per kilogram, meski tahun ini hanya Rp 180.000 per kilogram.

Selain memburu rombongan ikan tuna dan cakalang, para nelayan Mandar juga biasa berburu rempah-rempah hingga Ternate dan Tidore untuk dibawa ke bandar Makassar.
Dilombakan

Saat libur melaut karena kendala cuaca, nelayan Mandar biasa mengisi waktu dengan menggelar lomba sandeq. Dulu, lomba hanya mengadu kemampuan manuver. Setiap sandeq harus memutari area yang dibatasi tiga titik.

Lomba ini membutuhkan kejelian membaca angin dan menentukan teknik manuver. Di sini nelayan diuji kepiawaian sebagai passandeq.

Lomba sandeq masih bisa disaksikan hingga saat ini dalam Sandeq Race, seperti digelar pertengahan Agustus lalu dengan mengambil rute Mamuju di Sulawesi Barat ke Makassar di Sulawesi Selatan dengan jarak tempuh 300 mil laut.

Ribuan orang tumpah ke pantai untuk menyaksikan sandeq dari desanya bertanding dalam pesta tahunan nelayan Mandar yang kini sudah menjadi agenda tahunan itu.

Bila dirunut ke belakang, sebenarnya adu cepat sandeq sudah ada sejak 1960-an. Dulu, lomba itu disebut lomba pasar, karena sandeq disewa oleh para pedagang untuk mengangkut barang dagangan ke setiap pasar di desa pesisir antara Majene dan Mamuju. Waktu itu, jalur laut sangat vital karena lebih cepat daripada transportasi darat yang masih terbatas.

Kecepatan sangat dituntut oleh pemilik barang agar tiba di pasar yang ada di setiap desa lebih awal, sehingga sandeq langsung bisa parkir di dekat pasar untuk meraup sebanyak-banyaknya pembeli. Passandeq (awak sandeq) yang lambat tiba pasti akan dimarahi pemilik barang karena pasar sudah sepi, sehingga garang tak laku.

Akan tetapi, kecepatan dan ketangguhan sandeq juga bisa menjadi sasaran gerombolan perompak. Karena itu, para pemilik perahu yang tahu perahunya cepat mengakali dengan mengikat batu supaya tidak direbut para perompak untuk dijadikan sarana kejahatannya.

Sepak terjang perompak ber-sandeq terbukti saat Horst berlayar menggunakan sandeq ke Bira, Sulawesi Selatan, pada pertengahan 1990-an.

"Orang Bira masih ingat kehebatan sandeq karena semua kapal layar bisa dikejar oleh sandeq. Kalau saat ini masih ada gerombolan, orang Bira mau menukar pinisinya dengan sandeq," ujar Horst.

Pelestarian budaya

Lomba sandeq profesional dirancang oleh Horst pada tahun 1995. Sandeq Race merupakan usaha untuk melestarikan dan meneruskan budaya bahari Mandar yang terancam punah. Sandeq mengajarkan nelayan muda untuk membaca arus, membaca angin, serta ritual yang ada di dalamnya.

Lomba ini gratis bagi nelayan Mandar, dan disediakan hadiah mencapai Rp 20 juta untuk juara umum. Semua peserta yang mencapai titik akhir juga memperoleh hadiah uang. Selama 10 hari mengikuti lomba, passandeq ditanggung biaya makannya, dan diberi uang untuk keluarga yang ditinggal.

Firdausy, passandeq dari Desa Pambusuang, Polewali Mandar, mengatakan, lomba sandeq mengandung unsur kebanggaan yang sangat tinggi. Pemenang lomba akan terangkat status sosialnya, dan menjadi buah bibir di masyarakat.

Kebanggaan sebagai passandeq itulah yang mendorong Firdausy merogoh Rp 30 juta untuk membuat sandeq yang khusus digunakan untuk lomba. Di luar lomba, sandeqnya hanya disimpan di kolong rumah panggungnya. "Setiap bulan kita cat ulang supaya awet. Kalau sudah dekat perlombaan, sandeq dikeluarkan untuk latihan hingga hari perlombaan," ujar Firdausy.

Sandeq Race yang telah 10 kali digelar merupakan usaha untuk melestarikan budaya bahari Mandar. Sebab, sejak awal 1990-an prahu bercadik ini makin hilang dari Teluk Mandar, dan digantikan perahu motor.

Dengan perlombaan itu, jumlah sandeq terus bertambah. Tahun ini, 53 sandeq ikut Sandeq Race. Beberapa di antaranya adalah sandeq baru.

Kalinda'da' 1

Kumpulan kalinda'da' berikut ini diambil dari artikel "TEMA DAN NILAI PENDIDIKAN DALAM KALINDA’DA’ MANDAR", ditulis oleh Oleh: Drs. Suradi Yasil, dimuat di dalam Jurnal Bosara (Media Informasi Sejarah dan Budaya Sulawesi Selatan) No. 5/6 tahun III, Juli – Oktober 1996 pada hal. 44 – 51. Diterjemahkan ulang dan ditafsir oleh Mustamin al-Mandary.
**********************************

Mua’ mattoe’o pandeng
Pakaramboi dzai’
Diang manini
Mappetondo dzai’i

Beru’-beru’ kambangao
Pandeng malassuao
Napuppi’ao
I to soro’ mamboyang

Pasammmesai saramu
Dimitta’e-ta’ena
Anna’ mu bebas
Mattalattanang bura’


Terjemahan

Kalau engkau menggantung nenas
Tempatkan pada tempat yang tinggi
Siapa tahu nanti
Ada yang menggantung (nenas) lebih tinggi

Melati jangan sampai kau rusak
Pandan jangan sampai kau layu
Jangan sampai kau dipetik
Orang yang mundur dari rumah tangganya

Bulatkan kasihmu
Dari kemungkinan percabangannya
Agar engkau bebas
Menaburkan benih

Tafsir

Kalinda'da pertama memberikan pesan bahwa hendaknya dalam memberikan sesuatu, berikanlah yang terbaik. Pemberian itu bisa berupa apa saja: cinta, kasih, pengabdian, penghormatan, ketulusan, dan lain-lain. Di dalam bahasa Mandar, nenas sering menjadi perumpamaan dari gadis perawan di samping melati, tapi kelihatannya dalam konteks ini maknanya adalah cinta dan kasih sayang. Jadi, jika Anda mencintai seorang gadis, cintailah sepenuhnya, jangan sampai ada laki-laki lain yang memberikan kasih sayang yang lebih tinggi dan memalingkannya dari Anda. Tentu saja, pesan ini lebih tepat kepada seorang suami.

Kalinda'da' kedua adalah pesan penting kepada seorang gadis. Orang tua selalu berpesan, jagalah sikap dan prilaku serta kata-kata dan ucapan karena itulah yang menjadi ukuran ke-sitinaya-an (kepantasan) keperempuanan sang gadis. Jangan pula menjadi perempuan murahan. Biasanya, perempuan seperti ini jatuhnya kepada laki-laki yang tidak bertanggungjawab. Di Mandar, laki-laki yang menceraikan istrinya dianggap tidak pantas untuk ditemani lagi.

Kalinda'da' ketiga memberikan saran penting tentang kesempurnaan kasih sayang, pengabdian, penghormatan, atau apa saja kepada seseorang; bisa laki-laki kepada perempuan, anak kepada orang tua, bawahan kepada atasan, adik kepada kakak dan sebaliknya, dan lain-lain. Pesannya adalah, kesempurnaan sikap baik akan memberikan kesempurnaan manfaat kepada seseorang yang melakukan kebaikan itu.