Dimuat di harian Kompas, Jumat, 20 Mei 2005
******************************************
WAJAH sumringah ditampakkan para nelayan penghuni barak pengungsian di Desa Alue Naga, Kecamatan Baiturrahman, Aceh Besar, Nanggroe Aceh Darussalam. Beberapa hari terakhir, mereka tak ubahnya bocah-bocah kecil yang dapat mainan baru.
Di muara Sungai Neuheun, para nelayan bergantian menjajal perahu bercadik yang baru kali ini mereka kenal. Perahu itu hasil rakitan mahasiswa perkapalan Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya dengan nelayan setempat. Di sekitar barak pengungsian, berderet 20 perahu contoh yang sudah selesai dirakit.
Namanya, perahu sandeq, model perahu nelayan tradisional Mandar (Sulawesi Barat) yang lambungnya menyerupai kano, tetapi kiri kanannya diapit cadik. Pengapit lambung-menyerupai sayap-dari bahan bambu tersebut, selain mempercantik penampilan perahu, juga berfungsi sebagai penjaga keseimbangan. Diterjang gelombang dahsyat pun perahu tetap mengapung tanpa oleng.
BAGI nelayan Aceh, perahu tersebut adalah peralatan baru untuk membantu mengais rezeki di laut. Maklum, perahu asli Tanah Rencong bermodel burung merak yang turun-temurun mereka gunakan, empat bulan lalu sudah tak bersisa dihantam tsunami.
Dalam keadaan tak punya apa-apa lagi selain baju di badan dan anggota keluarga yang tersisa, tentulah tak mudah bagi mereka untuk memiliki kembali perahu.
Sebagai wujud pengabdian kepada masyarakat, ITS menawarkan mereka sebuah perahu yang memadukan nilai kearifan lokal masyarakat pantai dengan teknologi ramah lingkungan. "Bahannya mudah didapat dan nelayan pun mudah merakitnya," ujar Kepala Pusat Studi Kelautan ITS Daniel Mohammad Rosyid PhD, Kamis (19/5).
Prototipe perahu itu berukuran panjang 4,7 meter, lebar 75 cm, dan berkapasitas angkut 300 kg ikan di luar 2-3 orang nelayan. Bahan dasarnya plywood marine, tripleks yang tak mudah lapuk karena basah atau panas. Setelah dirakit, seluruh badan kapal diplitur tahan air, diamplas, lalu dicat. Cadik dari bambu yang mengapit lambung panjangnya 4 meter.
Bentangan layar segi tiga di atas perahu menjadi bagian dari motor penggerak. Sore hari, ketika angin bertiup kencang dari darat ke laut, perahu melaju ke laut lepas. Di sanalah nelayan sepuasnya menjala ikan. Pagi hari, giliran tiupan angin berbalik arah dari laut ke darat, nelayan pun pulang ke pantai.
Biaya produksi satu perahu sekitar Rp 3,5-4 juta. Jika nelayan sudah makin berdaya dan tak ingin bergantung pada layar, mereka bisa melengkapi perahunya dengan mesin berkekuatan 5-7 tenaga kuda.
DALAM memberdayakan nelayan, ITS tak sendirian. PT Terminal Petikemas Surabaya digandeng sebagai donatur. Adapun Direktorat Pendidikan Masyarakat Depdiknas bertindak sebagai fasilitator dalam membangun pranata pemberdayaan nelayan dan pengungsi lainnya.
Pekan lalu, di Alue Naga, Direktur Pendidikan Masyarakat Depdiknas Ekodjatmiko Sukarso bersama tokoh masyarakat setempat meresmikan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Mandiri, pranata pendidikan nonformal yang berbasis nelayan.
Pascatsunami, di wilayah Aceh telah berdiri beberapa PKBM, di antaranya PKBM Lamlagang, Ar-Rahmah Seunebok, Serambi Mekah Pulo Aceh, dan Pengayoman Tunas Bangsa. Semuanya mengembangkan keaksaraan dan kecakapan hidup spesifik sesuai situasi masyarakat, seperti komputer, jahit-menjahit, otomotif, dan tata rambut.
PKBM Pengayoman Tunas Bangsa yang berbasis di Lembaga Pemasyarakatan Lhok Seumawe misalnya membina 25 eks aktivis Gerakan Aceh Merdeka.
Kedatangan LSM dan perwakilan Pemerintah Perancis bidang pendidikan di Aceh diharapkan mempererat sinergi antarpranata pemberdayaan masyarakat di Aceh. Anne-Marie Ricaldi Coquelin PhD, perwakilan Pemerintah Perancis bidang pendidikan di Indonesia, berucap, "Dengan sinergi dan tanpa prasangka, badai pasti berlalu...." (NAR)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar