Halal bi Halal Masyarakat Mandar Balikpapan 2007

(Sudah pernah dimuat di www.panyingkul.com pada tanggal 20 Nopember 2007)
Kalimantan adalah kampung halaman kedua bagi orang Sulawesi, khususnya yang berasal dari Sulawesi Barat dan Selatan. Di hampir setiap tempat di sepanjang pesisir timur pulau Kalimantan, terdapat kelompok masyarakat yang berasal dari Sulawesi. Bahkan beberapa tahun lalu, ada data yang menyebutkan bahwa penduduk Kalimantan Timur sekitar 60-70 persen berasal dari Sulawesi. Benar atau tidak, memang harus dibuktikan melalui penelitian.

Hubungan antara Kalimantan dan Sulawesi sudah dimulai sejak abad ke-5 atau abad ke-6. Sejarah menyebutkan bahwa beberapa benda purbakala yang ditemukan di muara sungai Lariang di Mamuju, Sulawesi Barat, diduga kuat berasal dari interaksi antara masyarakat kerajaan-kerajaan di Mandar dengan Kerajaan Kutai. Juga disebutkan bahwa ada hubungan keluarga antara raja-raja Kutai dan raja-raja Wajo, bahwa La Maddukelleng dari Wajo sempat menjadi Sultan di Paser, bahwa Balikpapan dan Samarinda adalah tempat menjual tallo’ bau (telur ikan tuing-tuing) pelaut Mandar yang melaut dengan sandeq dan berbagai jenis perahu lainnya sejak awal abad ke-20, dan lain-lain.

Warga kota Balikpapan sendiri, umumnya adalah pendatang. Masyarakat kota ini sangat heterogen. Jangankan anggota masyarakat yang datang dari berbagai daerah dan suku di Indonesia dari Medan sampai Jayapura, bahkan para expatriate yang bermukim di kota ini juga datang dari berbagai negara di dunia, dari Yordan sampai Kanada. Namun, justru kondisi inilah yang mengajarkan warga Balikpapan untuk saling menghormati dan bekerjasama dalam kemajemukan.

Mandar adalah salah satu etnis di Balikpapan yang berasal dari Sulawesi. Saat ini, masyarakat Mandar di Balikpapan bernaung pada Kerukunan Keluarga Mandar Sulawesi Barat (KKMSB) Kalimantan Timur yang merupakan salah satu kerukunan masyarakat dari 79 paguyuban yang terdaftar di pemerintah kota sampai tahun 2007. Dulu, masyarakat Mandar di seluruh Indonesia bergabung dengan masyarakat Bugis, Makassar dan Toraja dalam Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS), tetapi sejak terbentuknya provinsi Sulawesi Barat tahun 2004, masyarakat Mandar kemudian membentuk paguyuban sendiri. Di Kalimantan Timur, khususnya di kota Balikpapan, KKMSB terbentuk pada tahun 2005.

Setiap tahunnya, bahkan sewaktu masih bernaung di KKSS, masyarakat Mandar selalu mengadakan halal bi halal setiap selesai hari raya Idul Fitri. Sebenarnya, jauh sebelum terbentuknya KKMSB, masyarakat Mandar di Balikpapan sudah memiliki paguyuban sendiri yakni Kerukunan Keluarga Mandar (KKM); tetapi KKM tetap bernaung di bawah KKSS. KKM inilah yang mengatur pelaksanaan halal bi halal setiap tahunnya.

Halal bi halal masyarakat Mandar di Kalimantan Timur adalah acara yang selalu ditunggu-tunggu. Acara ini biasanya digilir dilakukan di Balikpapan dan Samarinda. Tahun 2006 lalu, acara halal bi halal diadakan di Samarinda, tahun ini di Balikpapan. Di acara inilah masyarakat Mandar melepaskan kerinduan pada kampung halaman, bertemu dengan sanak saudara yang mungkin berada jauh di daerah Kalimantan Timur lainnya. Bahkan tidak jarang banyak orang dari Mandar yang datang ke Kalimantan untuk menghadiri acara ini.

Pada 11 Nopember lalu, KKMSB Kalimantan Timur mengadakan halal bi halal di gedung Balikpapan Sport Center (BSC) di daerah Ring Road Balikpapan. Mestinya Gubernur Sulawesi Barat Anwar Adnan Saleh akan hadir, tapi batal karena mengikuti kursus Lemhanas di Jakarta pada waktu yang sama.

Acaranya cukup meriah. Ruang DOM, nama lain dari BSC, sampai penuh dari ruang utama sampai tribun di lantai 2 dan lantai 3, bahkan masih ada pengunjung yang harus menunggu di luar gedung. Tokoh-tokoh masyarakat Mandar dari seluruh wilayah Kalimantan juga datang, khususnya to kaiyyang (orang besar) yang dianggap sukses merantau di Kalimantan baik yang memilih pekerjaan sebagai usahawan maupun yang terlibat di pemerintahan. Ruangan DOM yang luas itu sesekali meledak-ledak oleh tepuk tangan pengunjung ketika Masjaya Sagena, ketua KKMSB Kalimantan Timur yang juga dosen senior di Universitas Mulawarman memberi sambutan. Demikian juga ketika Walikota Balikpapan, Imdad Hamid, menyampaikan kekagumannya bahwa salah seorang penggagas konsep Balikpapan madinatul iman adalah salah seorang putra Mandar, almarhum Rifai Latief.

Yang cukup menantang sebenarnya bagi KKMSB adalah ketika Pak Walikota mengharapkan suatu saat ada muhibah perahu sandeq dari Mamuju ke Balikpapan. Tentu, ini juga menjadi tantangan bagi penyelenggara Sandeq Race yang sudah beberapa tahun dilaksanakan dengan rute dari Mandar ke Makassar.

Yang tidak kalah seru adalah kehadiran Nurdin KDI. Nurdin adalah salah satu putra Mandar yang dianggap sukses di dunia tarik suara (walaupun kemenangannya di ajang KDI ditentukan oleh jumlah SMS saja). Panitia sengaja mendatangkan Nurdin, dengan biaya belasan juta, demi menghibur masyarakat Mandar. Pada saat penampilan Nurdin yang hanya membawakan dua buah lagu saja, satu lagu dangdut dan satu lagu Mandar, bagian depan panggung sampai penuh sehingga menutupi pandangan hadirin yang duduk di kursi di ruang utama. Seorang gadis kecil, murid kelas empat SD dari Kampung Baru, sampai memenuhi kamera ponselnya dengan gambar-gambar Nurdin. Gadis kecil ini mengaku, pada saat Nurdin masih di kompetisi KDI dulu, dia dan ibunya selalu mengirim SMS untuk Nurdin.

Nasehat halal bi halal disampaikan oleh KH. Syarifuddin, salah seorang cucu Imam Lapeo, seorang ulama yang terkenal dari Mandar.


Warga Mandar memenuhi gedung pertemuan. Foto: Mustamin al-Mandary.

Yang menarik, adalah menu makanan yang tersedia, seperti jepa (singkong parut yang dibuat seperti martabak), loka anjoroi (pisang muda rebus yang diaduk dengan santan), bau peapi (ikan masak khusus menggunakan minyak Mandar), bau tapa (ikan yang diasapi), sokkol lameayu (“nasi” dari ubi parut yang dicampur dengan kacang ijo), lawar puso (masakan khas jantung pisang), serta makanan-makanan lain yang sudah lazim seperti buras, ketupat, dan kue-kue lainnya. Sayangnya, karena banyaknya pengunjung, mungkin hanya sebagian yang bisa mencicipi makanan tradisional ini. Saking lakunya, bahkan sebelum acara makan siang, loka anjoroi sudah beredar di antara pengunjung.

Lalu, ada juga parrabana (tukang rebana) yang khusus didatangkan dari Muara Badak. Di samping itu, ada pagelaran tarian tradisional yang dipersembahkan oleh gadis-gadis yang menggunakan pakaian Mandar. Tidak lupa, passayang-sayang (semacam berbalas pantun dalam bahasa Mandar yang dilagukan dan diiringi petikan gitar) yang menghadirkan sepasang passayang-sayang yang kaset dan VCD-nya beredar di Sulsel dan Sulbar. Kemudian ada pula acara mappamacco’. Lima orang perempuan yang berdandan elok, duduk berbaris di atas panggung. Setelah itu seorang penyanyi yang diiringi petikan gitar akan mattede (memuji) perempuan-perempuan itu satu per satu. (Aslinya, penyanyi di acara ini diiringi petikan kecapi, itulah karenanya di beberapa tempat di Mandar acara ini disebut pakkacaping). Diharapkan, setelah mendengar tede itu, ada orang yang bersedia mappamacco’ (memberikan uangnya di nampan yang diletakkan di depan masing-masing perempuan) untuk yang disukainya. Ini sejenis saweran. Pada kesempatan ini, walikota Balikpapan dan istrinya sempat juga mappamacco’ yang mengundang tepuk tangan para pengunjung.


Acara Mappamacco'. Foto Mustamin al-Mandary

Di luar gedung, di area parkir, juga dipertontonkan sayyang pattu’du’ (kuda menari) lengkap dengan dua gadis manis yang menjadi penunggangnya. Seperti layaknya di Mandar, sesekali penonton berteriak menimpali kalinda’da’ yang dipersembahkan di depan sayyang pattu’du’ dan penunggangnya. Selain itu, terlihat sebuah bendi sikopang, kendaraan tradisional yang banyak dijumpai di Mandar, berkeliling di area parkir DOM. Dengan membayar kepada kusirnya, pengunjung yang umumnya anak-anak, bisa menyewa bendi tersebut. Menurut informasi, sayyang pattu’du’ dan kuda bendi yang berharga belasan juta rupiah sengaja didatangkan ke Balikpapan oleh seorang tokaiyyang dua hari sebelumnya.


Sebenarnya, halal bi halal seperti ini bisa digunakan untuk “kampanye budaya” sebagai bagian dari pengenalan dan pelestarian budaya Mandar, khususnya bagi orang-orang yang jarang atau sudah tidak pernah ke Mandar. Sayangnya, tidak ada ceramah budaya di acara kali ini. Menurut keterangan panitia, mereka mengundang Muis Mandra, salah seorang budayawan Mandar dari Sendana, Majene. Tetapi, beliau tidak bisa datang karena waktunya bertepatan dengan acara memperingati haul Husni Djamaluddin di Tinambung. Untungnya, Muhammad Ridwan Alimuddin, seorang penulis muda yang banyak memperkenalkan budaya bahari khususnya dari wilayah Mandar, diundang untuk memutar film pendek tentang kebudayaan Mandar. Di film berdurasi sekitar 40 menit itu diperlihatkan beberapa budaya Mandar, mulai dari sandeq, penenun sutra Mandar, passau’ uwai, cara peminangan, dan lain-lain.