Oleh: Reny Sri Ayu Taslim
Dimuat di Kompas tanggal 30 Juni 2007
************************************
Minggu, medio April lalu, matahari bersinar terik di atas Desa Karama, Kecamatan Tinambung, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat (300 kilometer barat Makassar). Kendati sinarnya menyengat kulit, warga desa tampak tak kehilangan semangat dan kegembiraan menyambut prosesi khatam Al Quran di desa itu.
Sejak pagi warga berduyun-duyun mendatangi masjid, membawa berbagai hantaran dalam sebuah balasuji (wadah berbentuk segi empat besar yang terbuat dari bambu). Isi balasuji beragam, di antaranya pisang, kelapa, gula merah, beras, dan kue-kue tradisional. Mereka yang sudah sampai di masjid kemudian berzikir dan membaca doa hingga menjelang siang. Saat zikir usai, isi balasuji dibagi-bagikan kepada warga sekitar. Tak jarang pula pemilik balasuji saling bertukar isi dengan pembawa balasuji lainnya.
Pada saat yang sama, di rumah-rumah warga, kaum perempuan sibuk menyiapkan aneka masakan dan kue-kue. Umumnya di rumah-rumah yang penghuninya menggelar acara khitan, ruang tamu disulap menjadi tempat makan lesehan dengan baki dan tatakan makan lainnya yang penuh berisi beragam jenis makanan dan kue-kue.
"Kalau sudah begini, siapa pun yang singgah wajib mencicipi hidangan yang disajikan. Bahkan biasanya dari desa lain pun ada yang datang menyaksikan acara ini dan mereka juga dipanggil naik ke atas rumah untuk makan. Jadi, biasanya kami memang menyiapkan cukup banyak makanan," kata Muliani, warga setempat.
Kegembiraan dan keramaian tidak hanya berlangsung pagi hingga siang hari itu. Malam sebelumnya, rumah-rumah warga, yang putranya mengikuti acara khatam, sudah diramaikan suara orang-orang yang membacakan ayat-ayat suci Al Quran, lagu-lagu kasidah, dan tetabuhan rebana. Alunan syahdu itu terdengar sejak waktu shalat isya hingga menjelang pagi.
Kuda Berhias
Saat yang paling ditunggu-tunggu akhirnya tiba menjelang sore. Puncak acara ini ditandai dengan arak-arakan anak-anak yang tamat mengaji (khatam Al Quran) keliling desa. Anak-anak yang diarak masing-masing menunggangi kuda berhias. Kudanya pun bukan sembarangan. Kuda-kuda tunggangan itu mampu berjalan sembari menari. Kuda-kuda tersebut menari diiringi tabuhan rebana dan pembacaan pantun khas Mandar.
Tak pelak, kegembiraan warga tumpah ruah bersamaan dengan dimulainya arak-arakan. Di sepanjang jalan yang dilalui arak-arakan kuda, warga biasanya berdesak-desakan bahkan banyak di antaranya yang berjalan mengikuti arak-arakan. Biasanya, setiap kali kuda yang diunggulkan lewat, mereka akan bersorak-sorai mengelu-elukan kuda tersebut.
Sorak-sorai bertambah ramai bila tarian kuda cukup lama dan bagus. Memang di sela arak-arakan, kuda beberapa kali berhenti kemudian memain-mainkan kaki depannya secara bergantian sembari menggeleng-gelengkan kepala ke kiri dan kenan layaknya sedang menari.
Sayyang Pattuddu’ (kuda menari), begitu, suku Mandar menyebut acara ini. Sayyang Patuddu’ di sebagian wilayah di Kabupaten Polewali Mandar, Majene, dan Mamuju lazim ditampilkan untuk merayakan keberhasilan anak-anak yang khatam Al Quran. Acara khatam yang diwarnai Sayyang Pattuddu’ ini hanya dilaksanakan sekali dalam setahun, yakni setiap bulan Maulid. Biasanya acara tersebut diselenggarakan per desa/kelurahan/kecamatan dengan waktu dan jumlah peserta yang berbeda-beda.
60 Peserta
Acara tahun ini diikuti 60 peserta yang berarti juga akan diikuti 60 kuda. Ke-60 peserta ini bukan hanya anak-anak warga desa setempat, tetapi juga anak-anak dari luar desa, luar kabupaten, bahkan luar Sulawesi Barat, yang orangtuanya berasal dari desa ini.
Satu per satu kuda diatur berbaris di depan masjid.
Di atas kuda duduk seorang pissawe (pendamping) yang mengenakan pakaian adat mandar lengkap. Lazimnya yang menjadi pissawe adalah perempuan. Tak mudah menjadi seorang pissawe karena butuh keseimbangan tubuh yang bagus.
Pasalnya, saat duduk di atas kuda, pissawe harus duduk dengan satu kaki ditekuk ke belakang dengan lutut mengarah ke depan dan satu kaki lainnya terlipat dengan lutut mengarah ke atas dan telapak kaki berpijak pada badan kuda. "Dengan model duduk seperti ini, keseimbangan harus betul-betul terjaga saat kuda yang ditunggangi menari dengan mengangkat setengah badannya ke atas sembari menggoyang-goyangkan kaki dan menggeleng-gelengkan kepala. Walaupun ada yang membantu memegang kuda, tetapi kalau tidak kuat, bisa jatuh," ujar Hasmawiah, salah satu pissawe.
Di belakang pissawe duduk anak yang khatam mengaji atau yang disebut to tamma’. Yang perempuan mengenakan pakaian muslim dan penutup kepala, sedangkan anak laki-laki mengenakan baju gamis yang dilengkapi penutup kepala layaknya digunakan orang di Timur Tengah. Di samping kiri dan kanan kuda, empat orang memegang kuda. Mereka disebut pissarung.
Selain itu, ada pula seorang pakkaling dadda’ berdiri di bagian depan, tepat di sebelah kepala kuda. Pakkaling dadda’ adalah orang yang bertugas membaca pantun dalam bahasa mandar sepanjang arak-arakan dilakukan. Biasanya pantun yang diucapkan berisi kata atau kalimat yang lucu dan selalu disambut penonton dengan sahutan, teriakan, celetukan, atau tepukan tangan.
Di depan kuda ada pemain rebana yang berjumlah 6-12 orang. Kelompok ini terus memainkan rebana dengan irama tertentu sembari kerap berjingkrak-jingkrak, mengiring kuda menari. Pukulan rebana biasanya akan terhenti sejenak bila pakkaling dadda’ mengucapkan pantun.
Ritual Istimewa
Bagi warga suku Mandar, suku yang sebagian mayoritas di Sulawesi Barat, khatam Al Quran adalah sesuatu yang sangat istimewa sehingga tamatnya membaca 30 juz Al Quran tersebut disyukuri secara khusus. Namun, tidak semua warga yang berdiam di Sulawesi Barat menggelar acara Sayyang Pattuddu’. "Bagi kami, tamat membaca Al Quran adalah sesuatu yang penting sebelum memasuki bangku sekolah dasar. Makanya, anak saya sudah belajar mengaji sejak usia lima tahun. Tidak butuh waktu lama, asal tekun, tidak sampai setahun, dia sudah tamat," kata Zainuddin (40), warga setempat.
Samaruddin, guru mengaji setempat, juga mengatakan, umumnya anak-anak di daerah itu hanya butuh waktu sekitar setahun untuk belajar mengaji sekaligus menamatkan seluruh bacaan Al Quran.
Soal acara penamatannya, tidak jadi soal kapan akan dilaksanakan. Kerap ada anak yang sudah tamat mengaji pada usia lima tahun, tetapi baru diacarakan saat berusia 10 tahun. "Tergantung orangtuanya saja, kapan punya uang. Yang jelas, tamat dulu. Anak saya baru saya acarakan saat dia sudah mau lulus SD. Padahal, tamat mengajinya sejak akan memasuki SD ," ujar Badriah, yang memperingati khatam Al Quran Suriani pada saat anaknya itu berusia 13 tahun.
Begitu eratnya pertalian antara tamat mengaji dan gelar adat Sayyang Pattuddu’ sampai-sampai suku Mandar yang sudah berdiam di luar Sulawesi Barat akan kembali ke daerahnya untuk mengacarakan tamat mengaji itu. "Biasanya, setahun sebelum acara, orangtua sudah mulai mendaftarkan anaknya. Biasanya untuk menentukan urut-urutan peserta, kami mengundi," ujar Hamzah, panitia acara khatam tahun ini.
Tak ada yang tahu sejak kapan persisnya acara khatam diramaikan dengan Sayyang Pattuddu’. "Saat saya masih kecil, saya sudah diacarakan seperti ini. Kata orangtua saya, mereka pun sudah diacarakan seperti itu sejak kecil oleh nenek saya," kata Samaruddin menceritakan.
Kendati tidak jelas kapan mulainya, hingga kini warga di beberapa wilayah di Poliwali Mandar, Majene, dan Mamuju masih melakoni tradisi ini.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
Terus buatkan postingan tentang kebudayaan mandar. Kunjungi blogku dan mandar community
totamma atau yang messawe disayyang merupakan suatu solusi yang diambil oleh para sayyid yang ada dilitaq mandar demi untuk menghilanngkan kebiasaan para penguaasa atau maraqdía yang biasa mengumpulkan para putri cantik ( Naiwaine Malolo) untuk menari di rumahnya.
Mandar di ibaratkan naiwaine Malolo yang terlupakan, untuk itu demi mewujudkan Mandar yang Malaqbi diharapkan seluruh lapisan masyarakat Mandar menjungjung tinggi dan mempertahankan petua para tomawuwen mandar yaitu Da pappasung Pau mua iddai mulle muassei.
Posting Komentar