Ditulis oleh Muhammad Ridwan Alimuddin, pernah dimuat di Radar Sulbar, dan di-posting di Kampung Panyingkul
******************************************
Satu bulan terakhir ini saya mendapat dua kali pertanyaan “Apakah perahu padewakang berasal dari Mandar?”, oleh seorang budayawan muda dan anggota DPRD Polman, dan satu pernyataan bahwa “Perahu padewakang berasala dari Mandar”, yang dikemukakan pejabat penting di Kabupaten Polman.
Salah satu dugaan mengapa istilah “perahu padewakang” santer dibicarakan, khususnya di Polman, disebabkan adanya pihak yang datang menawarkan gambar (foto reproduksi) perahu padewakang ke legislatif dan eksekutif di Polman. Kepada mereka digemborkan bahwa sejatinya perahu padewakang berasal dari Mandar.
Saya sedikit kaget dengan pernyataan tersebut. Sejauh pengalaman saya mempelajari perahu-perahu di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat atau nusantara pada umumnya, saya belum pernah menemukan pendapat baik ilmiah maupun “konon” yang mengatakan perahu padewakang berasal dari Mandar. Atau dengan kata lain, pendapat bahwa perahu padewakang berasal dari Mandar amat meragukan dan sampai saat ini belum ada alasan ilmiahnya.
Istilah “Padewakang”
Kata “padewakang, paduwakang” (Sulawesi) dan “paduwang” (Madura) , mempunyai akar kata wa, wangka, waga, wangga, dan bangka dari bahsa Austronesia. Istilah tersebut diasosiasikan pada “perahu bercadik atau perahu kecil” (Adrian Horridge, The Prahu: Traditional Sailing Boat of Indonesia, 1985).
Adapun pendapat lain menuliskan bahwa perahu padewakang adalah “perahu Bugis berukuran kecil yang menggunakan layar persegi, yang melintang” (Acciaioli, Searching for Good Fortune, dalam Manusia Bugis, Christian Pelras, 2006); dan “perahu dagang Bugis berukuran besar yang digunakan pada abad ke-19, dengan dua atau tiga tiang layar, berlayar persegi, dan berhaluan tinggi” (Adrian Horridge, Sailing Craft of Indonesia, 1986).
Adapun referensi utama yang memperlihatkan model/replika perahu padewakang terdapat dalam atlas etnografi Boegineesch-Hollandsch Woordenboek yang ditulis oleh ahli filologi Belanda bernama B. F. Matthes dan terbit pada tahun 1874 sebagaimana yang terdapat dalam Nusa Jawa: Silang Budaya, Volume 2: Jaringan Asia, Denys Lombard (2005).
Defenisi Perahu
Sebelum membahas lebih lanjut, baiknya kita pahami dulu defenisi tentang perahu. Hal ini penting sebab ada beberapa jenis perahu yang sebenarnya sama tapi nama/istilah beda.
Secara dasar, jenis-jenis perahu tradisional Nusantara dapat digolongkan dengan tiga cara: Ada istilah yang menandai jenis layarnya, ada yang menggambarkan bentuk lambung, dan ada nama yang berasal dari cara dan tujuan pemakaian perahu. Dengan cara penamaan ini memang agak susah buat orang awam untuk mengerti perbedaan-perbedaan yang jelas sekali bagi para pelaut dan pengrajin perahu – apalagi karena ‘secara kebiasaan’ hanya salah satu dari istilah ini digunakan untuk menandai sebuah tipe tertentu, dan tiada kepastian apakah istilah yang menandai jenis layar, tipe lambung atau tujuan penggunaannya menjadi ‘nama’ sejenis perahu.
Istilah-istilah itu dapat berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain, dan terutama dalam bidang perikanan tradisional terdapat ratusan jenis perahu lokal yang masing-masing ‘punya nama’ tersendiri. Beberapa contoh dari Sulawesi Selatan: Nama perahu baqgoq asal daerah Mandar dan Barru bereferensi pada tipe lambung perahu, bila ia memakai layar jenis ‘nade’ – jika ia dilengkapi dengan jenis layar ‘lete’, maka pelaut-pelaut akan menamakannya baqgoq maupun lete; perahu-perahu yang menggunakan layar jenis schooner-ketch (‘pinisiq’) dinamakan pinisiq, biar lambung perahu berbentuk padewakang, palari atau lambo; perahu tipe patorani (‘pencari ikan terbang [torani]’) asal Galesong, Sulawesi Selatan, terdiri dari lambung pajala besar atau padewakang kecil dan memakai layar jenis ‘tanjaq’.
Meski begitu, ternyata sejak dahulu sampai sekarang terdapat suatu ‘standar’ penamaan tipe-tipe perahu yang berlaku bagi para pelaut Nusantara, baik asal dalam maupun luar negeri: Penemuan Knaap mengenai istilah akan jenis-jenis perahu dan kapal di Jawa Utara sudah disebutkan di atas, dan peristilahan akan tipe-tipe perahu kontemporer yang digunakan pelaut-pedagang antar-pulau tradisional asal berbagai daerah Nusantara sangat seragam. Jadi, sebelum saya dapat membahas beberapa contoh konkrit evolusi tipe-tipe perahu tertentu, terasa perlu memberikan suatu outline tentang keanekaragaman tipe-tipe perahu Nusantara.
Perahu Padewakang
Perahu padewakang sudah ada, paling lambat, pada abad ke-18 merupakan tipe utama dari sekian banyak jenis perahu dagang jarak jauh Sulawesi Selatan. Padewakang-padewakang milik pedagang Mandar, Makassar dan Bugis melayari seluruh Samudera Indonesia di antara Irian Jaya dan Semenanjung Malaya, dan sekurang-kurangnya sejak abad ke-19 secara rutin berlayar sampai ke Australia untuk mencari tripang; dalam suatu buku dari abad silam bahkan terdapat gambaran sebuah perahu padewakang yang dicap ‘perahu bajak laut asal Sulawesi di Teluk Persia’.
Tipe perahu ini menggambarkan dengan baik sifat-sifat perahu Nusantara sejak kedatangan kekuatan kolonial, yaitu sebuah lambung yang –menurut standar Eropa– berukuran sedang yang dilengkapi dengan satu sampai dua geladak, kemudi samping dan layar jenis tanjaq yang dipasang pada sebatang tiang tripod tanpa laberang.
Keuntungan layar fore-and-aft semakin jelas bagi para pelaut Sulawesi, sehingga mereka berusaha untuk mengkombinasikannya dengan layar tanjaq yang selama ini terbukti sesuai dengan kondisi-kondisi pelayaran mereka. Salah satu hal yang secara pasti menjadi hambatan bagi para pelaut itu disebutkan oleh Wallace – layar fore-and-aft pada tiang buritan dan tamberang haluan terbuat dari kain kanvas, sedangkan layar-layar tanjaq terdiri dari tenunan daun gebang yang disebut “karoroq”.
Lahirnya Pinisi
Kombinasi kedua tipe layar itu ternyata belum layak dipakai, dan kita bisa memastikan bahwa para pelayar bercoba-coba untuk mendapatkan solusinya. Dari percobaan-percobaan ini terakhirnya lahir layar pinisiq yang selama hampir 100 tahun menjadi jenis layar khas perahu-perahu Sulawesi.
Layar dan perahu jenis pinisiq mulai bermunculan di Nusantara pada sekitar tahun 1840-an. Konon ceritanya, di Kuala Trengganu tinggallah seorang Perancis atau Jerman, yang telah melarikan diri dari sebuah kapal layar berukuran besar asal Eropa (atau tak mau ikut ke Indonesia ketika Malaka diserahkan oleh Belanda kepada Inggris) ke Trengganu di mana ia menikahi seorang gadis Melayu dan bekerja sebagai tukang besi.
‘Versi romantisnya’ adalah, bahwa pada suatu hari Raja Trengganu kala itu, Sultan Baginda Omar, meminta si bule membantu buat sebuah perahu yang menyerupai perahu barat yang paling modern, sehingga dibangunkannya suatu kapal sekunar yang dipakai sebagai perahu kerajaan; ‘perahu pinisiq pertama’ serta si bule yang bernama Martin Perrot itu dilihat dan ditemui oleh seorang nakhoda Inggris pada tahun 1846 ketika berlabuh di Kuala Trengganu.
Menurut tradisi para pelaut Melayu, perahu itulah yang dijadikan contoh pertama untuk membangun perahu-perahu sejenis yang berikutnya dinamakan pinas atau penis, mungkin sekali dengan meniru kata pinasse, yang dalam bahasa Perancis dan Jerman pada zaman itu menandai sejenis kapal layar berukuran sedang.
Kebetulan bukan hanya satu perahu itu yang pada abad silam sempat dilihat oleh para pelaut Makassar, Mandar dan Bugis yang kini terkenal dengan perahu pinisiq-nya, tetapi sejak awal abad ke-19 semakin banyak pedagang-pelaut Inggris yang beroperasi dari Singapura maupun para pedagang partikuler Belanda di Indonesia mulai menggunakan perahu jenis sekunar Barat yang baru dirancang di Amerika pada dekade-dekade akhir abad sebelumnya.
Jenis layar pinisi tampaknya seperti perahu schooner ketch asal Eropa: Tiang haluan lebih tinggi daripada tiang di buritan, dan pada kedua tiangnya terdapat layar jenis fore-and-aft. Namun, layar jenis pinisiq itu dalam beberapa hal berbeda dari teladannya - misalnya, sedangkan pada sekunar barat andang-andang layar dinaik-turunkan dengan layarnya, pada sebuah perahu pinisiq andang-andang itu terpasang tetap pada pertengahan kedua tiang, dan layarnya dikembangkan dengan menariknya ke ujung andang-andang itu bak sehelai gorden.
Sebuah perahu pinisiq lengkap memakai tujuh sampai delapan helai layar: Tiga helai layar bersegitiga yang terpasang pada laberang depan tiang haluan, pada masing-masing tiangnya sehelai layar besar bersegi empat serta sehelai layar topser bersegitiga di atasnya, dan pada laberang depan tiang buritan sering terdapat lagi sehelai layar bersegi-tiga.
Dengan layar-layar ini perahu pinisiq menjadi sangat atraktif bagi pelaut Sulawesi: Nooteboom (1940) melaporkan dari Mandar, bahwa “Alasan yang mendorong orang Mandar untuk meninggalkan layar tanjaq yang digunakan dari dahulu demi layar pinis yang lebih bersifat Eropa menurut Haji Daeng Pale adalah kemudahan dalam pemakaiannya. Bila anginnya bertambah, orang di atas perahu yang menggunakan layar tanjaq harus menggulung layarnya yang begitu besar itu ke atas bom bawahnya, suatu pekerjaan yang berat dan berbahaya. Layar pinis dapat dikurangi bagian demi bagian [… Ini] dimulai dengan mentutup layar topser dan layar anjungan. Jika anginnya bertambah lagi, maka agak gampang mengurangi layar besarnya dengan menariknya ke arah tiang, sehingga perahu dengan menggunakan layar yang ditutup setengah itu dan satu atau lebih layar anjungan masih bergerak secukupnya supaya daya kemudi tak hilang. Selain ini, terdapat pula perbedaan dalam kemampuan berlayar, yakni bahwa layar pinis itu dapat berlayar lebih dekat ke arah angin. […] Yang paling penting adalah bahwa [perahu] dapat berbalik haluan dengan lebih gampang bila beropal-opal.
Padewakang Berubah Menjadi Pinisi
Menurut Horst Liebner, ahli maritim Mandar, pada awalnya layar pinisiq dipasang ke atas lambung perahu padewakang dan sejenisnya; akan tetapi, ketika para pelaut dan pengrajin perahu semakin sadar atas cara pemakaiannya, lambung yang dipilih adalah jenis palari saja – tipe lambung yang sangat runcing dan ‘pelari’ itu memanglah yang paling sesuai dengan layar sekunder.
Evolusi ini terjadi dalam beberapa tahap: Tipe lambung padewakang dirancang dengan lebih runcing dan ditingkatkan dengan beberapa papan tambahan yang menyebabkan, bahwa dek haluan menjadi lebih rendah daripada dek utama dan buritan, dan bahwa konstruksi balok-balok guling seolah-olah ‘terbang’ di belakang buritan perahu (palari salompong ambeng rua kali [istilah-istilah ini berasal dari Bahasa Konjo]); berikutnya bagian geladak buritan (ambeng) diteruskan hingga balok-balok kemudi menyatu dengannya (palari salompong); dan tahap terakhir adalah meningkatkan linggi haluan supaya seluruh geladak menjadi lurus.
Tipe lambung terakhir ini digunakan sampai perahu pinisiq diganti dengan tipe-tipe PLM, ‘perahu layar motor’. Pada awal tahun 1970-an ribuan perahu pinisiq-palari yang berukuran sampai 200 ton muatan, armada perahu layar komersial terbesar di dunia pada saat itu, sempat menghubungi semua pelosok Samudera Indonesia dan menjadi tulang rusuk perdagangan rakyat.
Sejak tahun 1930-an perahu-perahu ukuran kecil dan sedang di seluruh Nusanara semakin sering menggunakan layar jenis nade sebagai penggeraknya. Jenis layar ini pun berasal dari pengaruh barat, yaitu perahu-perahu layar jenis cutter dan sloop. Layar nade itu terdiri dari satu atau dua helai layar jib di depan dan sehelai layar besar di belakang tiang. Pelaut yang paling kenal dengan perahu-perahu layar yang memakai layar nade berasal dari Pulau Buton di Sulawesi Tenggara; mereka pun menggunakan sejenis lambung perahu tertentu bernama lambo yang berasal dari perpaduan contoh-contoh perahu barat dengan teknik tradisional Nusantara.
Menurut beberapa sumber, para pelaut cenderung memilih tipe lambung lambo dengan layar nade karena pemakaiannya bahkan lebih gampang dan kemampuannya dalam beropal-opal konon lebih baik lagi daripada perahu pinisiq. Pada awalnya, tipe baru ini dimaksudkan sebagai pesaing perahu palari-pinisiq; akan tetapi, setelah daya muat perahu pinisiq semakin ditingkatkan, maka tipe lambo-nade digunakan sebagai perahu dagang yang berukuran sedang.
Setelah pada tahun 1970-an semakin banyak perahu dilengkapi dengan mesin penggerak, maka dengan cepat baik lambung perahu maupun layarnya diubah: Untuk dipasangi dengan sebuah mesin jenis-jenis lambung tradisional terbukti tak cocok, sehingga lambung tipe lambo menjadi alternatifnya. Pada tahun-tahun berikutnya, daya muatnya semakin ditingkatkan, sehingga kini terdapat perahu yang bisa memuat lebih daripada 300t; hampir semua perahu dagang tradisional itu kini menggunakan lambung jenis lambo yang diperbesarkan itu.
Oleh karena layarnya sekarang hanya berfungsi sebagai pembantu, maka di atas perahu tipe PLM ini biasanya terdapat satu tiang saja: Memakai banyak layar artinya membawa awak banyak, dan pada zaman ini tenaga manusia serta gajinya semakin diperhitungkan. Perahu-perahu yang berukuran besar tetap memakai layar bak pinisi satu tiang, sedangkan perahu ukuran sedang dilengkapi dengan layar nade. Akan tetapi, baik perahu yang memakai layar pinisiq tiang tunggal maupun layar nade tak lagi dapat berlayar dengan tenaga angin saja - pada umumnya ukuran layarnya kecil, dan tiangnya terlalu pendek, sehingga layar hanya dibuka saat arah angin menguntungkan.
Kesimpulan
Sampai saat ini belum ada pendapat yang bisa membuktikan asal perahu padewakang, termasuk Mandar. Untuk menyimpulkan amat sulit sebab hampir semua komunitas pelaut di Sulawesi Selatan (Bugis, Makassar, Bajau) dan Sulawesi Barat (Mandar) menggunakan perahu padewakang. Menyebut berasal dari Sulawesi pun belum kuat, sebab di Madura pun ada. Belum lagi bila kita melihat relief perahu di Candi Borobudur (dibuat 1000 tahun lalu) yang bentuknya ada kemiripan dengan perahu padewakang.
Kesimpulannya, mengatakan perahu padewakang berasal dari Mandar sangatlah mengada-ada dan tidak ilmiah! Yang bisa kita sosialisasikan atau kampanyekan adalah bahwa perahu padewakang juga digunakan oleh pelaut dan pedagang Mandar, bukan hanya Bugis. Ini penting sebab di sekian banyak referensi padewakang diidentikkan dengan Bugis (saja). Jadi kita pun adalah pewaris sah atas jenis perahu padewakang dan perahu pinisi.
Untuk itu, menjadikan dua jenis perahu di atas sebagai, misalnya ada museum bahari di Mandar, koleksi mempunyai dasar ilmiah yang kuat. Ya, sebab dulu moyang kita juga membuat dan menggunakan dua jenis perahu tersebut.
Terakhir, bentuk kebudayaan bahari yang bisa dikatakan berasal dari Mandar adalah teknologi alat bantu penangkapan rumpon (“roppo” atau “roppong” dalam bahasa Mandar). Kalau yang ini ada pendapat ilmiahnya.
Jadi, yang harusnya diutamakan oleh pemerintah di Sulawesi Barat sebagai aikon (icon) budaya bahari Mandar adalah rumpon. Selain memang berasal dari Mandar, juga pengaruh teknologi ini sudah meng-internasional. Beda dengan sandeq yang hanya digunakan pelaut Mandar sendiri; beda dengan padewakan dan pinisi yang hanya sebatas di Sulawesi dan saat ini sudah tak digunakan lagi.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
Fenomena ini sangat patut dibicarakan dalam pertemuan atau seminar kebudayaan,
Terima kasih atas Informasinya, saya selaku Mahasiswa yg ada di makassar menjadikan Referensi ini sebagai Salah satu bagian dari Gagasan & Esensi kami untuk mengkaji Lbih dalam tentang Budaya SULAWESI.
by SEKJEND KPM-PM (Kesatuan Pelajar Mahasiswa Polewali Mandar)
Selamat siang siang pa kenalkan nama saya M.Thamrin Dari CV.FAMILY JAYA GRUP kebetulan saya bergerak di bidang produksi tali di sini saya menyediakan berbagai jenis macam tali.
Tali yang sering saya produksi ada macam macam jenis nya diantara nya
1 Tali rumpon jenis PP
2 Tali rumpon rapiah
3 Tali rumpon jenis sol
4 Tali Dogol
5 Tali Pakal
Dini saya juga lagi mau mengebangan tali dari bahan serabut kelapa.tapi kebetulan karna mesin produksi nya dalam proses pembuatan jadi belum bisa di kembangkan.
Sekira nya ada diantara bapak2/ibu2 yg sedang mencari tali bisa hubungi saya langsung di no Hp 082379070732/BBM 530999CF /EMAILmulya.abadi53@yahoo.com
Posting Komentar