Dimuat di harian Kompas, 15 April 2006
*****************************************
Polewali, Kompas - Perahu tradisional khas masyarakat Mandar, sandeq, saat ini terancam punah. Para nelayan di Sulawesi Barat itu telah beralih menggunakan perahu motor karena perahu jenis ini daya jangkaunya lebih jauh sehingga hasil tangkapan mereka lebih banyak.
Sejumlah nelayan Desa Sabang Subik, Kecamatan Balanipa, Kabupaten Polewali Mandar hari Kamis (13/4) menuturkan, saat ini di permukiman nelayan di Desa Sabang Subik diperkirakan tinggal tiga orang yang masih bertahan menggunakan perahu sandeq. Di desa itu, 95 persen penduduknya adalah nelayan.
"Yang masih menggunakan sandeq hanya menggunakan tidak jauh dari bibir pantai. Paling sekitar 10 mil dari pantai," kata Amang (28), seorang nelayan.
Nelayan sekarang, katanya, umumnya mencari ikan sampai ke Bontang (Kalimantan Timur), Nusa Tenggara Barat, dan Donggala (Sulawesi Tengah) yang jaraknya jauh.
Seorang pembuat sandeq, Taslim (50), membenarkan hal itu. Menurut Taslim, sejak ia membuat sandeq tahun 1982, pesanan sandeq terus merosot memasuki tahun 1990-an.
"Tahun 1970-an hingga 1980- an dalam setahun pesanan sandeq bisa mencapai 30 buah. Tapi, tahun 1990-an hampir tidak ada yang pesan," katanya.
Menurut dia, saat ini jika ada yang memesan sandeq, itu hanya digunakan untuk balapan, bukan digunakan untuk mencari ikan. Itu pun hanya satu tahun sekali saat balapan sandeq digelar pada perayaan Hari Kemerdekaan RI. Harga sebuah perahu sandeq sekitar Rp 30 juta dan dikerjakan sekitar dua bulan.
Senada dengan Taslim, pembuat sandeq asal Desa Bala, Kecamatan Balanipa, Hasanuddin (56), mengatakan, nelayan memilih menggunakan perahu motor karena dengan perahu motor mereka bisa lebih leluasa mencari ikan di lokasi yang jauh.
"Mencari ikan dengan sandeq tetap bisa mencapai jarak yang jauh. Selama ini sudah terbukti, sandeq dapat berlayar hingga Thailand dan Perancis. Namun, karena sandeq hanya mengandalkan layar, maka waktu tempuhnya lebih lama," katanya.
Hal ini, menurut Hasanuddin menghambat nelayan untuk mencari ikan dengan sandeq.
Menurut dia, kendati event balapan sandeq cukup membantu upaya pelestarian sandeq, dia berharap pemerintah setempat atau pemerintah pusat mencari alternatif agar sandeq tidak punah dan tidak lagi hanya untuk balapan. (DOE)
Perahu Padewakang Berasal dari Mandar?
Ditulis oleh Muhammad Ridwan Alimuddin, pernah dimuat di Radar Sulbar, dan di-posting di Kampung Panyingkul
******************************************
Satu bulan terakhir ini saya mendapat dua kali pertanyaan “Apakah perahu padewakang berasal dari Mandar?”, oleh seorang budayawan muda dan anggota DPRD Polman, dan satu pernyataan bahwa “Perahu padewakang berasala dari Mandar”, yang dikemukakan pejabat penting di Kabupaten Polman.
Salah satu dugaan mengapa istilah “perahu padewakang” santer dibicarakan, khususnya di Polman, disebabkan adanya pihak yang datang menawarkan gambar (foto reproduksi) perahu padewakang ke legislatif dan eksekutif di Polman. Kepada mereka digemborkan bahwa sejatinya perahu padewakang berasal dari Mandar.
Saya sedikit kaget dengan pernyataan tersebut. Sejauh pengalaman saya mempelajari perahu-perahu di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat atau nusantara pada umumnya, saya belum pernah menemukan pendapat baik ilmiah maupun “konon” yang mengatakan perahu padewakang berasal dari Mandar. Atau dengan kata lain, pendapat bahwa perahu padewakang berasal dari Mandar amat meragukan dan sampai saat ini belum ada alasan ilmiahnya.
Istilah “Padewakang”
Kata “padewakang, paduwakang” (Sulawesi) dan “paduwang” (Madura) , mempunyai akar kata wa, wangka, waga, wangga, dan bangka dari bahsa Austronesia. Istilah tersebut diasosiasikan pada “perahu bercadik atau perahu kecil” (Adrian Horridge, The Prahu: Traditional Sailing Boat of Indonesia, 1985).
Adapun pendapat lain menuliskan bahwa perahu padewakang adalah “perahu Bugis berukuran kecil yang menggunakan layar persegi, yang melintang” (Acciaioli, Searching for Good Fortune, dalam Manusia Bugis, Christian Pelras, 2006); dan “perahu dagang Bugis berukuran besar yang digunakan pada abad ke-19, dengan dua atau tiga tiang layar, berlayar persegi, dan berhaluan tinggi” (Adrian Horridge, Sailing Craft of Indonesia, 1986).
Adapun referensi utama yang memperlihatkan model/replika perahu padewakang terdapat dalam atlas etnografi Boegineesch-Hollandsch Woordenboek yang ditulis oleh ahli filologi Belanda bernama B. F. Matthes dan terbit pada tahun 1874 sebagaimana yang terdapat dalam Nusa Jawa: Silang Budaya, Volume 2: Jaringan Asia, Denys Lombard (2005).
Defenisi Perahu
Sebelum membahas lebih lanjut, baiknya kita pahami dulu defenisi tentang perahu. Hal ini penting sebab ada beberapa jenis perahu yang sebenarnya sama tapi nama/istilah beda.
Secara dasar, jenis-jenis perahu tradisional Nusantara dapat digolongkan dengan tiga cara: Ada istilah yang menandai jenis layarnya, ada yang menggambarkan bentuk lambung, dan ada nama yang berasal dari cara dan tujuan pemakaian perahu. Dengan cara penamaan ini memang agak susah buat orang awam untuk mengerti perbedaan-perbedaan yang jelas sekali bagi para pelaut dan pengrajin perahu – apalagi karena ‘secara kebiasaan’ hanya salah satu dari istilah ini digunakan untuk menandai sebuah tipe tertentu, dan tiada kepastian apakah istilah yang menandai jenis layar, tipe lambung atau tujuan penggunaannya menjadi ‘nama’ sejenis perahu.
Istilah-istilah itu dapat berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain, dan terutama dalam bidang perikanan tradisional terdapat ratusan jenis perahu lokal yang masing-masing ‘punya nama’ tersendiri. Beberapa contoh dari Sulawesi Selatan: Nama perahu baqgoq asal daerah Mandar dan Barru bereferensi pada tipe lambung perahu, bila ia memakai layar jenis ‘nade’ – jika ia dilengkapi dengan jenis layar ‘lete’, maka pelaut-pelaut akan menamakannya baqgoq maupun lete; perahu-perahu yang menggunakan layar jenis schooner-ketch (‘pinisiq’) dinamakan pinisiq, biar lambung perahu berbentuk padewakang, palari atau lambo; perahu tipe patorani (‘pencari ikan terbang [torani]’) asal Galesong, Sulawesi Selatan, terdiri dari lambung pajala besar atau padewakang kecil dan memakai layar jenis ‘tanjaq’.
Meski begitu, ternyata sejak dahulu sampai sekarang terdapat suatu ‘standar’ penamaan tipe-tipe perahu yang berlaku bagi para pelaut Nusantara, baik asal dalam maupun luar negeri: Penemuan Knaap mengenai istilah akan jenis-jenis perahu dan kapal di Jawa Utara sudah disebutkan di atas, dan peristilahan akan tipe-tipe perahu kontemporer yang digunakan pelaut-pedagang antar-pulau tradisional asal berbagai daerah Nusantara sangat seragam. Jadi, sebelum saya dapat membahas beberapa contoh konkrit evolusi tipe-tipe perahu tertentu, terasa perlu memberikan suatu outline tentang keanekaragaman tipe-tipe perahu Nusantara.
Perahu Padewakang
Perahu padewakang sudah ada, paling lambat, pada abad ke-18 merupakan tipe utama dari sekian banyak jenis perahu dagang jarak jauh Sulawesi Selatan. Padewakang-padewakang milik pedagang Mandar, Makassar dan Bugis melayari seluruh Samudera Indonesia di antara Irian Jaya dan Semenanjung Malaya, dan sekurang-kurangnya sejak abad ke-19 secara rutin berlayar sampai ke Australia untuk mencari tripang; dalam suatu buku dari abad silam bahkan terdapat gambaran sebuah perahu padewakang yang dicap ‘perahu bajak laut asal Sulawesi di Teluk Persia’.
Tipe perahu ini menggambarkan dengan baik sifat-sifat perahu Nusantara sejak kedatangan kekuatan kolonial, yaitu sebuah lambung yang –menurut standar Eropa– berukuran sedang yang dilengkapi dengan satu sampai dua geladak, kemudi samping dan layar jenis tanjaq yang dipasang pada sebatang tiang tripod tanpa laberang.
Keuntungan layar fore-and-aft semakin jelas bagi para pelaut Sulawesi, sehingga mereka berusaha untuk mengkombinasikannya dengan layar tanjaq yang selama ini terbukti sesuai dengan kondisi-kondisi pelayaran mereka. Salah satu hal yang secara pasti menjadi hambatan bagi para pelaut itu disebutkan oleh Wallace – layar fore-and-aft pada tiang buritan dan tamberang haluan terbuat dari kain kanvas, sedangkan layar-layar tanjaq terdiri dari tenunan daun gebang yang disebut “karoroq”.
Lahirnya Pinisi
Kombinasi kedua tipe layar itu ternyata belum layak dipakai, dan kita bisa memastikan bahwa para pelayar bercoba-coba untuk mendapatkan solusinya. Dari percobaan-percobaan ini terakhirnya lahir layar pinisiq yang selama hampir 100 tahun menjadi jenis layar khas perahu-perahu Sulawesi.
Layar dan perahu jenis pinisiq mulai bermunculan di Nusantara pada sekitar tahun 1840-an. Konon ceritanya, di Kuala Trengganu tinggallah seorang Perancis atau Jerman, yang telah melarikan diri dari sebuah kapal layar berukuran besar asal Eropa (atau tak mau ikut ke Indonesia ketika Malaka diserahkan oleh Belanda kepada Inggris) ke Trengganu di mana ia menikahi seorang gadis Melayu dan bekerja sebagai tukang besi.
‘Versi romantisnya’ adalah, bahwa pada suatu hari Raja Trengganu kala itu, Sultan Baginda Omar, meminta si bule membantu buat sebuah perahu yang menyerupai perahu barat yang paling modern, sehingga dibangunkannya suatu kapal sekunar yang dipakai sebagai perahu kerajaan; ‘perahu pinisiq pertama’ serta si bule yang bernama Martin Perrot itu dilihat dan ditemui oleh seorang nakhoda Inggris pada tahun 1846 ketika berlabuh di Kuala Trengganu.
Menurut tradisi para pelaut Melayu, perahu itulah yang dijadikan contoh pertama untuk membangun perahu-perahu sejenis yang berikutnya dinamakan pinas atau penis, mungkin sekali dengan meniru kata pinasse, yang dalam bahasa Perancis dan Jerman pada zaman itu menandai sejenis kapal layar berukuran sedang.
Kebetulan bukan hanya satu perahu itu yang pada abad silam sempat dilihat oleh para pelaut Makassar, Mandar dan Bugis yang kini terkenal dengan perahu pinisiq-nya, tetapi sejak awal abad ke-19 semakin banyak pedagang-pelaut Inggris yang beroperasi dari Singapura maupun para pedagang partikuler Belanda di Indonesia mulai menggunakan perahu jenis sekunar Barat yang baru dirancang di Amerika pada dekade-dekade akhir abad sebelumnya.
Jenis layar pinisi tampaknya seperti perahu schooner ketch asal Eropa: Tiang haluan lebih tinggi daripada tiang di buritan, dan pada kedua tiangnya terdapat layar jenis fore-and-aft. Namun, layar jenis pinisiq itu dalam beberapa hal berbeda dari teladannya - misalnya, sedangkan pada sekunar barat andang-andang layar dinaik-turunkan dengan layarnya, pada sebuah perahu pinisiq andang-andang itu terpasang tetap pada pertengahan kedua tiang, dan layarnya dikembangkan dengan menariknya ke ujung andang-andang itu bak sehelai gorden.
Sebuah perahu pinisiq lengkap memakai tujuh sampai delapan helai layar: Tiga helai layar bersegitiga yang terpasang pada laberang depan tiang haluan, pada masing-masing tiangnya sehelai layar besar bersegi empat serta sehelai layar topser bersegitiga di atasnya, dan pada laberang depan tiang buritan sering terdapat lagi sehelai layar bersegi-tiga.
Dengan layar-layar ini perahu pinisiq menjadi sangat atraktif bagi pelaut Sulawesi: Nooteboom (1940) melaporkan dari Mandar, bahwa “Alasan yang mendorong orang Mandar untuk meninggalkan layar tanjaq yang digunakan dari dahulu demi layar pinis yang lebih bersifat Eropa menurut Haji Daeng Pale adalah kemudahan dalam pemakaiannya. Bila anginnya bertambah, orang di atas perahu yang menggunakan layar tanjaq harus menggulung layarnya yang begitu besar itu ke atas bom bawahnya, suatu pekerjaan yang berat dan berbahaya. Layar pinis dapat dikurangi bagian demi bagian [… Ini] dimulai dengan mentutup layar topser dan layar anjungan. Jika anginnya bertambah lagi, maka agak gampang mengurangi layar besarnya dengan menariknya ke arah tiang, sehingga perahu dengan menggunakan layar yang ditutup setengah itu dan satu atau lebih layar anjungan masih bergerak secukupnya supaya daya kemudi tak hilang. Selain ini, terdapat pula perbedaan dalam kemampuan berlayar, yakni bahwa layar pinis itu dapat berlayar lebih dekat ke arah angin. […] Yang paling penting adalah bahwa [perahu] dapat berbalik haluan dengan lebih gampang bila beropal-opal.
Padewakang Berubah Menjadi Pinisi
Menurut Horst Liebner, ahli maritim Mandar, pada awalnya layar pinisiq dipasang ke atas lambung perahu padewakang dan sejenisnya; akan tetapi, ketika para pelaut dan pengrajin perahu semakin sadar atas cara pemakaiannya, lambung yang dipilih adalah jenis palari saja – tipe lambung yang sangat runcing dan ‘pelari’ itu memanglah yang paling sesuai dengan layar sekunder.
Evolusi ini terjadi dalam beberapa tahap: Tipe lambung padewakang dirancang dengan lebih runcing dan ditingkatkan dengan beberapa papan tambahan yang menyebabkan, bahwa dek haluan menjadi lebih rendah daripada dek utama dan buritan, dan bahwa konstruksi balok-balok guling seolah-olah ‘terbang’ di belakang buritan perahu (palari salompong ambeng rua kali [istilah-istilah ini berasal dari Bahasa Konjo]); berikutnya bagian geladak buritan (ambeng) diteruskan hingga balok-balok kemudi menyatu dengannya (palari salompong); dan tahap terakhir adalah meningkatkan linggi haluan supaya seluruh geladak menjadi lurus.
Tipe lambung terakhir ini digunakan sampai perahu pinisiq diganti dengan tipe-tipe PLM, ‘perahu layar motor’. Pada awal tahun 1970-an ribuan perahu pinisiq-palari yang berukuran sampai 200 ton muatan, armada perahu layar komersial terbesar di dunia pada saat itu, sempat menghubungi semua pelosok Samudera Indonesia dan menjadi tulang rusuk perdagangan rakyat.
Sejak tahun 1930-an perahu-perahu ukuran kecil dan sedang di seluruh Nusanara semakin sering menggunakan layar jenis nade sebagai penggeraknya. Jenis layar ini pun berasal dari pengaruh barat, yaitu perahu-perahu layar jenis cutter dan sloop. Layar nade itu terdiri dari satu atau dua helai layar jib di depan dan sehelai layar besar di belakang tiang. Pelaut yang paling kenal dengan perahu-perahu layar yang memakai layar nade berasal dari Pulau Buton di Sulawesi Tenggara; mereka pun menggunakan sejenis lambung perahu tertentu bernama lambo yang berasal dari perpaduan contoh-contoh perahu barat dengan teknik tradisional Nusantara.
Menurut beberapa sumber, para pelaut cenderung memilih tipe lambung lambo dengan layar nade karena pemakaiannya bahkan lebih gampang dan kemampuannya dalam beropal-opal konon lebih baik lagi daripada perahu pinisiq. Pada awalnya, tipe baru ini dimaksudkan sebagai pesaing perahu palari-pinisiq; akan tetapi, setelah daya muat perahu pinisiq semakin ditingkatkan, maka tipe lambo-nade digunakan sebagai perahu dagang yang berukuran sedang.
Setelah pada tahun 1970-an semakin banyak perahu dilengkapi dengan mesin penggerak, maka dengan cepat baik lambung perahu maupun layarnya diubah: Untuk dipasangi dengan sebuah mesin jenis-jenis lambung tradisional terbukti tak cocok, sehingga lambung tipe lambo menjadi alternatifnya. Pada tahun-tahun berikutnya, daya muatnya semakin ditingkatkan, sehingga kini terdapat perahu yang bisa memuat lebih daripada 300t; hampir semua perahu dagang tradisional itu kini menggunakan lambung jenis lambo yang diperbesarkan itu.
Oleh karena layarnya sekarang hanya berfungsi sebagai pembantu, maka di atas perahu tipe PLM ini biasanya terdapat satu tiang saja: Memakai banyak layar artinya membawa awak banyak, dan pada zaman ini tenaga manusia serta gajinya semakin diperhitungkan. Perahu-perahu yang berukuran besar tetap memakai layar bak pinisi satu tiang, sedangkan perahu ukuran sedang dilengkapi dengan layar nade. Akan tetapi, baik perahu yang memakai layar pinisiq tiang tunggal maupun layar nade tak lagi dapat berlayar dengan tenaga angin saja - pada umumnya ukuran layarnya kecil, dan tiangnya terlalu pendek, sehingga layar hanya dibuka saat arah angin menguntungkan.
Kesimpulan
Sampai saat ini belum ada pendapat yang bisa membuktikan asal perahu padewakang, termasuk Mandar. Untuk menyimpulkan amat sulit sebab hampir semua komunitas pelaut di Sulawesi Selatan (Bugis, Makassar, Bajau) dan Sulawesi Barat (Mandar) menggunakan perahu padewakang. Menyebut berasal dari Sulawesi pun belum kuat, sebab di Madura pun ada. Belum lagi bila kita melihat relief perahu di Candi Borobudur (dibuat 1000 tahun lalu) yang bentuknya ada kemiripan dengan perahu padewakang.
Kesimpulannya, mengatakan perahu padewakang berasal dari Mandar sangatlah mengada-ada dan tidak ilmiah! Yang bisa kita sosialisasikan atau kampanyekan adalah bahwa perahu padewakang juga digunakan oleh pelaut dan pedagang Mandar, bukan hanya Bugis. Ini penting sebab di sekian banyak referensi padewakang diidentikkan dengan Bugis (saja). Jadi kita pun adalah pewaris sah atas jenis perahu padewakang dan perahu pinisi.
Untuk itu, menjadikan dua jenis perahu di atas sebagai, misalnya ada museum bahari di Mandar, koleksi mempunyai dasar ilmiah yang kuat. Ya, sebab dulu moyang kita juga membuat dan menggunakan dua jenis perahu tersebut.
Terakhir, bentuk kebudayaan bahari yang bisa dikatakan berasal dari Mandar adalah teknologi alat bantu penangkapan rumpon (“roppo” atau “roppong” dalam bahasa Mandar). Kalau yang ini ada pendapat ilmiahnya.
Jadi, yang harusnya diutamakan oleh pemerintah di Sulawesi Barat sebagai aikon (icon) budaya bahari Mandar adalah rumpon. Selain memang berasal dari Mandar, juga pengaruh teknologi ini sudah meng-internasional. Beda dengan sandeq yang hanya digunakan pelaut Mandar sendiri; beda dengan padewakan dan pinisi yang hanya sebatas di Sulawesi dan saat ini sudah tak digunakan lagi.
******************************************
Satu bulan terakhir ini saya mendapat dua kali pertanyaan “Apakah perahu padewakang berasal dari Mandar?”, oleh seorang budayawan muda dan anggota DPRD Polman, dan satu pernyataan bahwa “Perahu padewakang berasala dari Mandar”, yang dikemukakan pejabat penting di Kabupaten Polman.
Salah satu dugaan mengapa istilah “perahu padewakang” santer dibicarakan, khususnya di Polman, disebabkan adanya pihak yang datang menawarkan gambar (foto reproduksi) perahu padewakang ke legislatif dan eksekutif di Polman. Kepada mereka digemborkan bahwa sejatinya perahu padewakang berasal dari Mandar.
Saya sedikit kaget dengan pernyataan tersebut. Sejauh pengalaman saya mempelajari perahu-perahu di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat atau nusantara pada umumnya, saya belum pernah menemukan pendapat baik ilmiah maupun “konon” yang mengatakan perahu padewakang berasal dari Mandar. Atau dengan kata lain, pendapat bahwa perahu padewakang berasal dari Mandar amat meragukan dan sampai saat ini belum ada alasan ilmiahnya.
Istilah “Padewakang”
Kata “padewakang, paduwakang” (Sulawesi) dan “paduwang” (Madura) , mempunyai akar kata wa, wangka, waga, wangga, dan bangka dari bahsa Austronesia. Istilah tersebut diasosiasikan pada “perahu bercadik atau perahu kecil” (Adrian Horridge, The Prahu: Traditional Sailing Boat of Indonesia, 1985).
Adapun pendapat lain menuliskan bahwa perahu padewakang adalah “perahu Bugis berukuran kecil yang menggunakan layar persegi, yang melintang” (Acciaioli, Searching for Good Fortune, dalam Manusia Bugis, Christian Pelras, 2006); dan “perahu dagang Bugis berukuran besar yang digunakan pada abad ke-19, dengan dua atau tiga tiang layar, berlayar persegi, dan berhaluan tinggi” (Adrian Horridge, Sailing Craft of Indonesia, 1986).
Adapun referensi utama yang memperlihatkan model/replika perahu padewakang terdapat dalam atlas etnografi Boegineesch-Hollandsch Woordenboek yang ditulis oleh ahli filologi Belanda bernama B. F. Matthes dan terbit pada tahun 1874 sebagaimana yang terdapat dalam Nusa Jawa: Silang Budaya, Volume 2: Jaringan Asia, Denys Lombard (2005).
Defenisi Perahu
Sebelum membahas lebih lanjut, baiknya kita pahami dulu defenisi tentang perahu. Hal ini penting sebab ada beberapa jenis perahu yang sebenarnya sama tapi nama/istilah beda.
Secara dasar, jenis-jenis perahu tradisional Nusantara dapat digolongkan dengan tiga cara: Ada istilah yang menandai jenis layarnya, ada yang menggambarkan bentuk lambung, dan ada nama yang berasal dari cara dan tujuan pemakaian perahu. Dengan cara penamaan ini memang agak susah buat orang awam untuk mengerti perbedaan-perbedaan yang jelas sekali bagi para pelaut dan pengrajin perahu – apalagi karena ‘secara kebiasaan’ hanya salah satu dari istilah ini digunakan untuk menandai sebuah tipe tertentu, dan tiada kepastian apakah istilah yang menandai jenis layar, tipe lambung atau tujuan penggunaannya menjadi ‘nama’ sejenis perahu.
Istilah-istilah itu dapat berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain, dan terutama dalam bidang perikanan tradisional terdapat ratusan jenis perahu lokal yang masing-masing ‘punya nama’ tersendiri. Beberapa contoh dari Sulawesi Selatan: Nama perahu baqgoq asal daerah Mandar dan Barru bereferensi pada tipe lambung perahu, bila ia memakai layar jenis ‘nade’ – jika ia dilengkapi dengan jenis layar ‘lete’, maka pelaut-pelaut akan menamakannya baqgoq maupun lete; perahu-perahu yang menggunakan layar jenis schooner-ketch (‘pinisiq’) dinamakan pinisiq, biar lambung perahu berbentuk padewakang, palari atau lambo; perahu tipe patorani (‘pencari ikan terbang [torani]’) asal Galesong, Sulawesi Selatan, terdiri dari lambung pajala besar atau padewakang kecil dan memakai layar jenis ‘tanjaq’.
Meski begitu, ternyata sejak dahulu sampai sekarang terdapat suatu ‘standar’ penamaan tipe-tipe perahu yang berlaku bagi para pelaut Nusantara, baik asal dalam maupun luar negeri: Penemuan Knaap mengenai istilah akan jenis-jenis perahu dan kapal di Jawa Utara sudah disebutkan di atas, dan peristilahan akan tipe-tipe perahu kontemporer yang digunakan pelaut-pedagang antar-pulau tradisional asal berbagai daerah Nusantara sangat seragam. Jadi, sebelum saya dapat membahas beberapa contoh konkrit evolusi tipe-tipe perahu tertentu, terasa perlu memberikan suatu outline tentang keanekaragaman tipe-tipe perahu Nusantara.
Perahu Padewakang
Perahu padewakang sudah ada, paling lambat, pada abad ke-18 merupakan tipe utama dari sekian banyak jenis perahu dagang jarak jauh Sulawesi Selatan. Padewakang-padewakang milik pedagang Mandar, Makassar dan Bugis melayari seluruh Samudera Indonesia di antara Irian Jaya dan Semenanjung Malaya, dan sekurang-kurangnya sejak abad ke-19 secara rutin berlayar sampai ke Australia untuk mencari tripang; dalam suatu buku dari abad silam bahkan terdapat gambaran sebuah perahu padewakang yang dicap ‘perahu bajak laut asal Sulawesi di Teluk Persia’.
Tipe perahu ini menggambarkan dengan baik sifat-sifat perahu Nusantara sejak kedatangan kekuatan kolonial, yaitu sebuah lambung yang –menurut standar Eropa– berukuran sedang yang dilengkapi dengan satu sampai dua geladak, kemudi samping dan layar jenis tanjaq yang dipasang pada sebatang tiang tripod tanpa laberang.
Keuntungan layar fore-and-aft semakin jelas bagi para pelaut Sulawesi, sehingga mereka berusaha untuk mengkombinasikannya dengan layar tanjaq yang selama ini terbukti sesuai dengan kondisi-kondisi pelayaran mereka. Salah satu hal yang secara pasti menjadi hambatan bagi para pelaut itu disebutkan oleh Wallace – layar fore-and-aft pada tiang buritan dan tamberang haluan terbuat dari kain kanvas, sedangkan layar-layar tanjaq terdiri dari tenunan daun gebang yang disebut “karoroq”.
Lahirnya Pinisi
Kombinasi kedua tipe layar itu ternyata belum layak dipakai, dan kita bisa memastikan bahwa para pelayar bercoba-coba untuk mendapatkan solusinya. Dari percobaan-percobaan ini terakhirnya lahir layar pinisiq yang selama hampir 100 tahun menjadi jenis layar khas perahu-perahu Sulawesi.
Layar dan perahu jenis pinisiq mulai bermunculan di Nusantara pada sekitar tahun 1840-an. Konon ceritanya, di Kuala Trengganu tinggallah seorang Perancis atau Jerman, yang telah melarikan diri dari sebuah kapal layar berukuran besar asal Eropa (atau tak mau ikut ke Indonesia ketika Malaka diserahkan oleh Belanda kepada Inggris) ke Trengganu di mana ia menikahi seorang gadis Melayu dan bekerja sebagai tukang besi.
‘Versi romantisnya’ adalah, bahwa pada suatu hari Raja Trengganu kala itu, Sultan Baginda Omar, meminta si bule membantu buat sebuah perahu yang menyerupai perahu barat yang paling modern, sehingga dibangunkannya suatu kapal sekunar yang dipakai sebagai perahu kerajaan; ‘perahu pinisiq pertama’ serta si bule yang bernama Martin Perrot itu dilihat dan ditemui oleh seorang nakhoda Inggris pada tahun 1846 ketika berlabuh di Kuala Trengganu.
Menurut tradisi para pelaut Melayu, perahu itulah yang dijadikan contoh pertama untuk membangun perahu-perahu sejenis yang berikutnya dinamakan pinas atau penis, mungkin sekali dengan meniru kata pinasse, yang dalam bahasa Perancis dan Jerman pada zaman itu menandai sejenis kapal layar berukuran sedang.
Kebetulan bukan hanya satu perahu itu yang pada abad silam sempat dilihat oleh para pelaut Makassar, Mandar dan Bugis yang kini terkenal dengan perahu pinisiq-nya, tetapi sejak awal abad ke-19 semakin banyak pedagang-pelaut Inggris yang beroperasi dari Singapura maupun para pedagang partikuler Belanda di Indonesia mulai menggunakan perahu jenis sekunar Barat yang baru dirancang di Amerika pada dekade-dekade akhir abad sebelumnya.
Jenis layar pinisi tampaknya seperti perahu schooner ketch asal Eropa: Tiang haluan lebih tinggi daripada tiang di buritan, dan pada kedua tiangnya terdapat layar jenis fore-and-aft. Namun, layar jenis pinisiq itu dalam beberapa hal berbeda dari teladannya - misalnya, sedangkan pada sekunar barat andang-andang layar dinaik-turunkan dengan layarnya, pada sebuah perahu pinisiq andang-andang itu terpasang tetap pada pertengahan kedua tiang, dan layarnya dikembangkan dengan menariknya ke ujung andang-andang itu bak sehelai gorden.
Sebuah perahu pinisiq lengkap memakai tujuh sampai delapan helai layar: Tiga helai layar bersegitiga yang terpasang pada laberang depan tiang haluan, pada masing-masing tiangnya sehelai layar besar bersegi empat serta sehelai layar topser bersegitiga di atasnya, dan pada laberang depan tiang buritan sering terdapat lagi sehelai layar bersegi-tiga.
Dengan layar-layar ini perahu pinisiq menjadi sangat atraktif bagi pelaut Sulawesi: Nooteboom (1940) melaporkan dari Mandar, bahwa “Alasan yang mendorong orang Mandar untuk meninggalkan layar tanjaq yang digunakan dari dahulu demi layar pinis yang lebih bersifat Eropa menurut Haji Daeng Pale adalah kemudahan dalam pemakaiannya. Bila anginnya bertambah, orang di atas perahu yang menggunakan layar tanjaq harus menggulung layarnya yang begitu besar itu ke atas bom bawahnya, suatu pekerjaan yang berat dan berbahaya. Layar pinis dapat dikurangi bagian demi bagian [… Ini] dimulai dengan mentutup layar topser dan layar anjungan. Jika anginnya bertambah lagi, maka agak gampang mengurangi layar besarnya dengan menariknya ke arah tiang, sehingga perahu dengan menggunakan layar yang ditutup setengah itu dan satu atau lebih layar anjungan masih bergerak secukupnya supaya daya kemudi tak hilang. Selain ini, terdapat pula perbedaan dalam kemampuan berlayar, yakni bahwa layar pinis itu dapat berlayar lebih dekat ke arah angin. […] Yang paling penting adalah bahwa [perahu] dapat berbalik haluan dengan lebih gampang bila beropal-opal.
Padewakang Berubah Menjadi Pinisi
Menurut Horst Liebner, ahli maritim Mandar, pada awalnya layar pinisiq dipasang ke atas lambung perahu padewakang dan sejenisnya; akan tetapi, ketika para pelaut dan pengrajin perahu semakin sadar atas cara pemakaiannya, lambung yang dipilih adalah jenis palari saja – tipe lambung yang sangat runcing dan ‘pelari’ itu memanglah yang paling sesuai dengan layar sekunder.
Evolusi ini terjadi dalam beberapa tahap: Tipe lambung padewakang dirancang dengan lebih runcing dan ditingkatkan dengan beberapa papan tambahan yang menyebabkan, bahwa dek haluan menjadi lebih rendah daripada dek utama dan buritan, dan bahwa konstruksi balok-balok guling seolah-olah ‘terbang’ di belakang buritan perahu (palari salompong ambeng rua kali [istilah-istilah ini berasal dari Bahasa Konjo]); berikutnya bagian geladak buritan (ambeng) diteruskan hingga balok-balok kemudi menyatu dengannya (palari salompong); dan tahap terakhir adalah meningkatkan linggi haluan supaya seluruh geladak menjadi lurus.
Tipe lambung terakhir ini digunakan sampai perahu pinisiq diganti dengan tipe-tipe PLM, ‘perahu layar motor’. Pada awal tahun 1970-an ribuan perahu pinisiq-palari yang berukuran sampai 200 ton muatan, armada perahu layar komersial terbesar di dunia pada saat itu, sempat menghubungi semua pelosok Samudera Indonesia dan menjadi tulang rusuk perdagangan rakyat.
Sejak tahun 1930-an perahu-perahu ukuran kecil dan sedang di seluruh Nusanara semakin sering menggunakan layar jenis nade sebagai penggeraknya. Jenis layar ini pun berasal dari pengaruh barat, yaitu perahu-perahu layar jenis cutter dan sloop. Layar nade itu terdiri dari satu atau dua helai layar jib di depan dan sehelai layar besar di belakang tiang. Pelaut yang paling kenal dengan perahu-perahu layar yang memakai layar nade berasal dari Pulau Buton di Sulawesi Tenggara; mereka pun menggunakan sejenis lambung perahu tertentu bernama lambo yang berasal dari perpaduan contoh-contoh perahu barat dengan teknik tradisional Nusantara.
Menurut beberapa sumber, para pelaut cenderung memilih tipe lambung lambo dengan layar nade karena pemakaiannya bahkan lebih gampang dan kemampuannya dalam beropal-opal konon lebih baik lagi daripada perahu pinisiq. Pada awalnya, tipe baru ini dimaksudkan sebagai pesaing perahu palari-pinisiq; akan tetapi, setelah daya muat perahu pinisiq semakin ditingkatkan, maka tipe lambo-nade digunakan sebagai perahu dagang yang berukuran sedang.
Setelah pada tahun 1970-an semakin banyak perahu dilengkapi dengan mesin penggerak, maka dengan cepat baik lambung perahu maupun layarnya diubah: Untuk dipasangi dengan sebuah mesin jenis-jenis lambung tradisional terbukti tak cocok, sehingga lambung tipe lambo menjadi alternatifnya. Pada tahun-tahun berikutnya, daya muatnya semakin ditingkatkan, sehingga kini terdapat perahu yang bisa memuat lebih daripada 300t; hampir semua perahu dagang tradisional itu kini menggunakan lambung jenis lambo yang diperbesarkan itu.
Oleh karena layarnya sekarang hanya berfungsi sebagai pembantu, maka di atas perahu tipe PLM ini biasanya terdapat satu tiang saja: Memakai banyak layar artinya membawa awak banyak, dan pada zaman ini tenaga manusia serta gajinya semakin diperhitungkan. Perahu-perahu yang berukuran besar tetap memakai layar bak pinisi satu tiang, sedangkan perahu ukuran sedang dilengkapi dengan layar nade. Akan tetapi, baik perahu yang memakai layar pinisiq tiang tunggal maupun layar nade tak lagi dapat berlayar dengan tenaga angin saja - pada umumnya ukuran layarnya kecil, dan tiangnya terlalu pendek, sehingga layar hanya dibuka saat arah angin menguntungkan.
Kesimpulan
Sampai saat ini belum ada pendapat yang bisa membuktikan asal perahu padewakang, termasuk Mandar. Untuk menyimpulkan amat sulit sebab hampir semua komunitas pelaut di Sulawesi Selatan (Bugis, Makassar, Bajau) dan Sulawesi Barat (Mandar) menggunakan perahu padewakang. Menyebut berasal dari Sulawesi pun belum kuat, sebab di Madura pun ada. Belum lagi bila kita melihat relief perahu di Candi Borobudur (dibuat 1000 tahun lalu) yang bentuknya ada kemiripan dengan perahu padewakang.
Kesimpulannya, mengatakan perahu padewakang berasal dari Mandar sangatlah mengada-ada dan tidak ilmiah! Yang bisa kita sosialisasikan atau kampanyekan adalah bahwa perahu padewakang juga digunakan oleh pelaut dan pedagang Mandar, bukan hanya Bugis. Ini penting sebab di sekian banyak referensi padewakang diidentikkan dengan Bugis (saja). Jadi kita pun adalah pewaris sah atas jenis perahu padewakang dan perahu pinisi.
Untuk itu, menjadikan dua jenis perahu di atas sebagai, misalnya ada museum bahari di Mandar, koleksi mempunyai dasar ilmiah yang kuat. Ya, sebab dulu moyang kita juga membuat dan menggunakan dua jenis perahu tersebut.
Terakhir, bentuk kebudayaan bahari yang bisa dikatakan berasal dari Mandar adalah teknologi alat bantu penangkapan rumpon (“roppo” atau “roppong” dalam bahasa Mandar). Kalau yang ini ada pendapat ilmiahnya.
Jadi, yang harusnya diutamakan oleh pemerintah di Sulawesi Barat sebagai aikon (icon) budaya bahari Mandar adalah rumpon. Selain memang berasal dari Mandar, juga pengaruh teknologi ini sudah meng-internasional. Beda dengan sandeq yang hanya digunakan pelaut Mandar sendiri; beda dengan padewakan dan pinisi yang hanya sebatas di Sulawesi dan saat ini sudah tak digunakan lagi.
Sayyang Pattuddu’ dan Khatam Khas Mandar
Oleh: Reny Sri Ayu Taslim
Dimuat di Kompas tanggal 30 Juni 2007
************************************
Minggu, medio April lalu, matahari bersinar terik di atas Desa Karama, Kecamatan Tinambung, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat (300 kilometer barat Makassar). Kendati sinarnya menyengat kulit, warga desa tampak tak kehilangan semangat dan kegembiraan menyambut prosesi khatam Al Quran di desa itu.
Sejak pagi warga berduyun-duyun mendatangi masjid, membawa berbagai hantaran dalam sebuah balasuji (wadah berbentuk segi empat besar yang terbuat dari bambu). Isi balasuji beragam, di antaranya pisang, kelapa, gula merah, beras, dan kue-kue tradisional. Mereka yang sudah sampai di masjid kemudian berzikir dan membaca doa hingga menjelang siang. Saat zikir usai, isi balasuji dibagi-bagikan kepada warga sekitar. Tak jarang pula pemilik balasuji saling bertukar isi dengan pembawa balasuji lainnya.
Pada saat yang sama, di rumah-rumah warga, kaum perempuan sibuk menyiapkan aneka masakan dan kue-kue. Umumnya di rumah-rumah yang penghuninya menggelar acara khitan, ruang tamu disulap menjadi tempat makan lesehan dengan baki dan tatakan makan lainnya yang penuh berisi beragam jenis makanan dan kue-kue.
"Kalau sudah begini, siapa pun yang singgah wajib mencicipi hidangan yang disajikan. Bahkan biasanya dari desa lain pun ada yang datang menyaksikan acara ini dan mereka juga dipanggil naik ke atas rumah untuk makan. Jadi, biasanya kami memang menyiapkan cukup banyak makanan," kata Muliani, warga setempat.
Kegembiraan dan keramaian tidak hanya berlangsung pagi hingga siang hari itu. Malam sebelumnya, rumah-rumah warga, yang putranya mengikuti acara khatam, sudah diramaikan suara orang-orang yang membacakan ayat-ayat suci Al Quran, lagu-lagu kasidah, dan tetabuhan rebana. Alunan syahdu itu terdengar sejak waktu shalat isya hingga menjelang pagi.
Kuda Berhias
Saat yang paling ditunggu-tunggu akhirnya tiba menjelang sore. Puncak acara ini ditandai dengan arak-arakan anak-anak yang tamat mengaji (khatam Al Quran) keliling desa. Anak-anak yang diarak masing-masing menunggangi kuda berhias. Kudanya pun bukan sembarangan. Kuda-kuda tunggangan itu mampu berjalan sembari menari. Kuda-kuda tersebut menari diiringi tabuhan rebana dan pembacaan pantun khas Mandar.
Tak pelak, kegembiraan warga tumpah ruah bersamaan dengan dimulainya arak-arakan. Di sepanjang jalan yang dilalui arak-arakan kuda, warga biasanya berdesak-desakan bahkan banyak di antaranya yang berjalan mengikuti arak-arakan. Biasanya, setiap kali kuda yang diunggulkan lewat, mereka akan bersorak-sorai mengelu-elukan kuda tersebut.
Sorak-sorai bertambah ramai bila tarian kuda cukup lama dan bagus. Memang di sela arak-arakan, kuda beberapa kali berhenti kemudian memain-mainkan kaki depannya secara bergantian sembari menggeleng-gelengkan kepala ke kiri dan kenan layaknya sedang menari.
Sayyang Pattuddu’ (kuda menari), begitu, suku Mandar menyebut acara ini. Sayyang Patuddu’ di sebagian wilayah di Kabupaten Polewali Mandar, Majene, dan Mamuju lazim ditampilkan untuk merayakan keberhasilan anak-anak yang khatam Al Quran. Acara khatam yang diwarnai Sayyang Pattuddu’ ini hanya dilaksanakan sekali dalam setahun, yakni setiap bulan Maulid. Biasanya acara tersebut diselenggarakan per desa/kelurahan/kecamatan dengan waktu dan jumlah peserta yang berbeda-beda.
60 Peserta
Acara tahun ini diikuti 60 peserta yang berarti juga akan diikuti 60 kuda. Ke-60 peserta ini bukan hanya anak-anak warga desa setempat, tetapi juga anak-anak dari luar desa, luar kabupaten, bahkan luar Sulawesi Barat, yang orangtuanya berasal dari desa ini.
Satu per satu kuda diatur berbaris di depan masjid.
Di atas kuda duduk seorang pissawe (pendamping) yang mengenakan pakaian adat mandar lengkap. Lazimnya yang menjadi pissawe adalah perempuan. Tak mudah menjadi seorang pissawe karena butuh keseimbangan tubuh yang bagus.
Pasalnya, saat duduk di atas kuda, pissawe harus duduk dengan satu kaki ditekuk ke belakang dengan lutut mengarah ke depan dan satu kaki lainnya terlipat dengan lutut mengarah ke atas dan telapak kaki berpijak pada badan kuda. "Dengan model duduk seperti ini, keseimbangan harus betul-betul terjaga saat kuda yang ditunggangi menari dengan mengangkat setengah badannya ke atas sembari menggoyang-goyangkan kaki dan menggeleng-gelengkan kepala. Walaupun ada yang membantu memegang kuda, tetapi kalau tidak kuat, bisa jatuh," ujar Hasmawiah, salah satu pissawe.
Di belakang pissawe duduk anak yang khatam mengaji atau yang disebut to tamma’. Yang perempuan mengenakan pakaian muslim dan penutup kepala, sedangkan anak laki-laki mengenakan baju gamis yang dilengkapi penutup kepala layaknya digunakan orang di Timur Tengah. Di samping kiri dan kanan kuda, empat orang memegang kuda. Mereka disebut pissarung.
Selain itu, ada pula seorang pakkaling dadda’ berdiri di bagian depan, tepat di sebelah kepala kuda. Pakkaling dadda’ adalah orang yang bertugas membaca pantun dalam bahasa mandar sepanjang arak-arakan dilakukan. Biasanya pantun yang diucapkan berisi kata atau kalimat yang lucu dan selalu disambut penonton dengan sahutan, teriakan, celetukan, atau tepukan tangan.
Di depan kuda ada pemain rebana yang berjumlah 6-12 orang. Kelompok ini terus memainkan rebana dengan irama tertentu sembari kerap berjingkrak-jingkrak, mengiring kuda menari. Pukulan rebana biasanya akan terhenti sejenak bila pakkaling dadda’ mengucapkan pantun.
Ritual Istimewa
Bagi warga suku Mandar, suku yang sebagian mayoritas di Sulawesi Barat, khatam Al Quran adalah sesuatu yang sangat istimewa sehingga tamatnya membaca 30 juz Al Quran tersebut disyukuri secara khusus. Namun, tidak semua warga yang berdiam di Sulawesi Barat menggelar acara Sayyang Pattuddu’. "Bagi kami, tamat membaca Al Quran adalah sesuatu yang penting sebelum memasuki bangku sekolah dasar. Makanya, anak saya sudah belajar mengaji sejak usia lima tahun. Tidak butuh waktu lama, asal tekun, tidak sampai setahun, dia sudah tamat," kata Zainuddin (40), warga setempat.
Samaruddin, guru mengaji setempat, juga mengatakan, umumnya anak-anak di daerah itu hanya butuh waktu sekitar setahun untuk belajar mengaji sekaligus menamatkan seluruh bacaan Al Quran.
Soal acara penamatannya, tidak jadi soal kapan akan dilaksanakan. Kerap ada anak yang sudah tamat mengaji pada usia lima tahun, tetapi baru diacarakan saat berusia 10 tahun. "Tergantung orangtuanya saja, kapan punya uang. Yang jelas, tamat dulu. Anak saya baru saya acarakan saat dia sudah mau lulus SD. Padahal, tamat mengajinya sejak akan memasuki SD ," ujar Badriah, yang memperingati khatam Al Quran Suriani pada saat anaknya itu berusia 13 tahun.
Begitu eratnya pertalian antara tamat mengaji dan gelar adat Sayyang Pattuddu’ sampai-sampai suku Mandar yang sudah berdiam di luar Sulawesi Barat akan kembali ke daerahnya untuk mengacarakan tamat mengaji itu. "Biasanya, setahun sebelum acara, orangtua sudah mulai mendaftarkan anaknya. Biasanya untuk menentukan urut-urutan peserta, kami mengundi," ujar Hamzah, panitia acara khatam tahun ini.
Tak ada yang tahu sejak kapan persisnya acara khatam diramaikan dengan Sayyang Pattuddu’. "Saat saya masih kecil, saya sudah diacarakan seperti ini. Kata orangtua saya, mereka pun sudah diacarakan seperti itu sejak kecil oleh nenek saya," kata Samaruddin menceritakan.
Kendati tidak jelas kapan mulainya, hingga kini warga di beberapa wilayah di Poliwali Mandar, Majene, dan Mamuju masih melakoni tradisi ini.
Dimuat di Kompas tanggal 30 Juni 2007
************************************
Minggu, medio April lalu, matahari bersinar terik di atas Desa Karama, Kecamatan Tinambung, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat (300 kilometer barat Makassar). Kendati sinarnya menyengat kulit, warga desa tampak tak kehilangan semangat dan kegembiraan menyambut prosesi khatam Al Quran di desa itu.
Sejak pagi warga berduyun-duyun mendatangi masjid, membawa berbagai hantaran dalam sebuah balasuji (wadah berbentuk segi empat besar yang terbuat dari bambu). Isi balasuji beragam, di antaranya pisang, kelapa, gula merah, beras, dan kue-kue tradisional. Mereka yang sudah sampai di masjid kemudian berzikir dan membaca doa hingga menjelang siang. Saat zikir usai, isi balasuji dibagi-bagikan kepada warga sekitar. Tak jarang pula pemilik balasuji saling bertukar isi dengan pembawa balasuji lainnya.
Pada saat yang sama, di rumah-rumah warga, kaum perempuan sibuk menyiapkan aneka masakan dan kue-kue. Umumnya di rumah-rumah yang penghuninya menggelar acara khitan, ruang tamu disulap menjadi tempat makan lesehan dengan baki dan tatakan makan lainnya yang penuh berisi beragam jenis makanan dan kue-kue.
"Kalau sudah begini, siapa pun yang singgah wajib mencicipi hidangan yang disajikan. Bahkan biasanya dari desa lain pun ada yang datang menyaksikan acara ini dan mereka juga dipanggil naik ke atas rumah untuk makan. Jadi, biasanya kami memang menyiapkan cukup banyak makanan," kata Muliani, warga setempat.
Kegembiraan dan keramaian tidak hanya berlangsung pagi hingga siang hari itu. Malam sebelumnya, rumah-rumah warga, yang putranya mengikuti acara khatam, sudah diramaikan suara orang-orang yang membacakan ayat-ayat suci Al Quran, lagu-lagu kasidah, dan tetabuhan rebana. Alunan syahdu itu terdengar sejak waktu shalat isya hingga menjelang pagi.
Kuda Berhias
Saat yang paling ditunggu-tunggu akhirnya tiba menjelang sore. Puncak acara ini ditandai dengan arak-arakan anak-anak yang tamat mengaji (khatam Al Quran) keliling desa. Anak-anak yang diarak masing-masing menunggangi kuda berhias. Kudanya pun bukan sembarangan. Kuda-kuda tunggangan itu mampu berjalan sembari menari. Kuda-kuda tersebut menari diiringi tabuhan rebana dan pembacaan pantun khas Mandar.
Tak pelak, kegembiraan warga tumpah ruah bersamaan dengan dimulainya arak-arakan. Di sepanjang jalan yang dilalui arak-arakan kuda, warga biasanya berdesak-desakan bahkan banyak di antaranya yang berjalan mengikuti arak-arakan. Biasanya, setiap kali kuda yang diunggulkan lewat, mereka akan bersorak-sorai mengelu-elukan kuda tersebut.
Sorak-sorai bertambah ramai bila tarian kuda cukup lama dan bagus. Memang di sela arak-arakan, kuda beberapa kali berhenti kemudian memain-mainkan kaki depannya secara bergantian sembari menggeleng-gelengkan kepala ke kiri dan kenan layaknya sedang menari.
Sayyang Pattuddu’ (kuda menari), begitu, suku Mandar menyebut acara ini. Sayyang Patuddu’ di sebagian wilayah di Kabupaten Polewali Mandar, Majene, dan Mamuju lazim ditampilkan untuk merayakan keberhasilan anak-anak yang khatam Al Quran. Acara khatam yang diwarnai Sayyang Pattuddu’ ini hanya dilaksanakan sekali dalam setahun, yakni setiap bulan Maulid. Biasanya acara tersebut diselenggarakan per desa/kelurahan/kecamatan dengan waktu dan jumlah peserta yang berbeda-beda.
60 Peserta
Acara tahun ini diikuti 60 peserta yang berarti juga akan diikuti 60 kuda. Ke-60 peserta ini bukan hanya anak-anak warga desa setempat, tetapi juga anak-anak dari luar desa, luar kabupaten, bahkan luar Sulawesi Barat, yang orangtuanya berasal dari desa ini.
Satu per satu kuda diatur berbaris di depan masjid.
Di atas kuda duduk seorang pissawe (pendamping) yang mengenakan pakaian adat mandar lengkap. Lazimnya yang menjadi pissawe adalah perempuan. Tak mudah menjadi seorang pissawe karena butuh keseimbangan tubuh yang bagus.
Pasalnya, saat duduk di atas kuda, pissawe harus duduk dengan satu kaki ditekuk ke belakang dengan lutut mengarah ke depan dan satu kaki lainnya terlipat dengan lutut mengarah ke atas dan telapak kaki berpijak pada badan kuda. "Dengan model duduk seperti ini, keseimbangan harus betul-betul terjaga saat kuda yang ditunggangi menari dengan mengangkat setengah badannya ke atas sembari menggoyang-goyangkan kaki dan menggeleng-gelengkan kepala. Walaupun ada yang membantu memegang kuda, tetapi kalau tidak kuat, bisa jatuh," ujar Hasmawiah, salah satu pissawe.
Di belakang pissawe duduk anak yang khatam mengaji atau yang disebut to tamma’. Yang perempuan mengenakan pakaian muslim dan penutup kepala, sedangkan anak laki-laki mengenakan baju gamis yang dilengkapi penutup kepala layaknya digunakan orang di Timur Tengah. Di samping kiri dan kanan kuda, empat orang memegang kuda. Mereka disebut pissarung.
Selain itu, ada pula seorang pakkaling dadda’ berdiri di bagian depan, tepat di sebelah kepala kuda. Pakkaling dadda’ adalah orang yang bertugas membaca pantun dalam bahasa mandar sepanjang arak-arakan dilakukan. Biasanya pantun yang diucapkan berisi kata atau kalimat yang lucu dan selalu disambut penonton dengan sahutan, teriakan, celetukan, atau tepukan tangan.
Di depan kuda ada pemain rebana yang berjumlah 6-12 orang. Kelompok ini terus memainkan rebana dengan irama tertentu sembari kerap berjingkrak-jingkrak, mengiring kuda menari. Pukulan rebana biasanya akan terhenti sejenak bila pakkaling dadda’ mengucapkan pantun.
Ritual Istimewa
Bagi warga suku Mandar, suku yang sebagian mayoritas di Sulawesi Barat, khatam Al Quran adalah sesuatu yang sangat istimewa sehingga tamatnya membaca 30 juz Al Quran tersebut disyukuri secara khusus. Namun, tidak semua warga yang berdiam di Sulawesi Barat menggelar acara Sayyang Pattuddu’. "Bagi kami, tamat membaca Al Quran adalah sesuatu yang penting sebelum memasuki bangku sekolah dasar. Makanya, anak saya sudah belajar mengaji sejak usia lima tahun. Tidak butuh waktu lama, asal tekun, tidak sampai setahun, dia sudah tamat," kata Zainuddin (40), warga setempat.
Samaruddin, guru mengaji setempat, juga mengatakan, umumnya anak-anak di daerah itu hanya butuh waktu sekitar setahun untuk belajar mengaji sekaligus menamatkan seluruh bacaan Al Quran.
Soal acara penamatannya, tidak jadi soal kapan akan dilaksanakan. Kerap ada anak yang sudah tamat mengaji pada usia lima tahun, tetapi baru diacarakan saat berusia 10 tahun. "Tergantung orangtuanya saja, kapan punya uang. Yang jelas, tamat dulu. Anak saya baru saya acarakan saat dia sudah mau lulus SD. Padahal, tamat mengajinya sejak akan memasuki SD ," ujar Badriah, yang memperingati khatam Al Quran Suriani pada saat anaknya itu berusia 13 tahun.
Begitu eratnya pertalian antara tamat mengaji dan gelar adat Sayyang Pattuddu’ sampai-sampai suku Mandar yang sudah berdiam di luar Sulawesi Barat akan kembali ke daerahnya untuk mengacarakan tamat mengaji itu. "Biasanya, setahun sebelum acara, orangtua sudah mulai mendaftarkan anaknya. Biasanya untuk menentukan urut-urutan peserta, kami mengundi," ujar Hamzah, panitia acara khatam tahun ini.
Tak ada yang tahu sejak kapan persisnya acara khatam diramaikan dengan Sayyang Pattuddu’. "Saat saya masih kecil, saya sudah diacarakan seperti ini. Kata orangtua saya, mereka pun sudah diacarakan seperti itu sejak kecil oleh nenek saya," kata Samaruddin menceritakan.
Kendati tidak jelas kapan mulainya, hingga kini warga di beberapa wilayah di Poliwali Mandar, Majene, dan Mamuju masih melakoni tradisi ini.
Makanan Raja-raja ala Mandar
Oleh: Anung Setyahadi
Dimuat di Kompas tanggal 9 September 2007
*********************************************
Berkunjung ke perkampungan nelayan Mandar di Sulawesi Barat tidaklah berkesan jika belum mencicipi gulai telur ikan terbang dan masakan serba ikan.
Layaknya makanan raja-raja, beberapa makanan lezat khas Mandar hanya disajikan saat acara ritual atau hajatan besar seperti pernikahan.
Saran jitu untuk menikmati masakan itu adalah datang ke daerah Mandar saat ada pesta pernikahan, sandeq race, atau pesta nelayan (mapandeqsasi).
Saya beruntung dapat menikmati hidangan Mandar langsung dari tangan pertama. Ketika meliput acara sandeq race pada 22-24 Agustus lalu, saya menginap di rumah Mohammad Ge yang asal Mandar, di Ujung Lero.
Saya dijamu masakan gulai ikan terbang yang terkenal itu. Bila Anda tidak punya kenalan warga setempat, masakan sejenis bisa didapat di beberapa hotel di Makassar, Sulawesi Selatan.
Daerah Mandar dengan perkampungan nelayannya berada di sepanjang Selat Makassar, dari Kabupaten Mamuju, Majene, hingga Polewali Mandar. Ada beberapa kampung Mandar di tengah kampung Bugis, seperti Ujung Lero, Kecamatan Suppa, Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan.
Ciri khas masakan Mandar adalah rasa yang pedas, gurih, sedikit asam, dan minim kuah. Variasi makanan sangat beragam mulai dari yang paling istimewa, yaitu gulai telur ikan terbang, pupu (semacam perkedel segi tiga dari ikan cakalang), sarundeng ikan, songko ubi, sampai buras.
Setiap keluarga nelayan Mandar pasti menyimpan telur ikan terbang kering. Jumlahnya tidak banyak karena hanya untuk jamuan khusus bagi tamu-tamu istimewa. Maklum, harga telur ikan terbang berkisar antara Rp 180.000 sampai Rp 300.000 per kilogram kering. Nelayan memilih menjual telur ikan daripada menyantap sendiri.
Sensasi Rasa
Aroma gurih gulai telur ikan yang masih mengepulkan asap sangat menggoda selera. Mencicipi kuahnya yang berwarna kekuningan, selera makan semakin meningkat.
Lidah tersengat sensasi gurih, pedas, bercampur sedikit asam. Bumbu cabai dan merica memberi sensasi pedas di mulut serta hangat yang menjalar perlahan di perut. Rasa asam mengalirkan air liur seperti efek buah zaitun untuk membangkitkan selera makan.
Telur ikan dalam kuah gulai masih berbentuk lembaran-lembaran sebesar bungkus rokok. Lembaran itu terdiri atas butir-butir telur yang melekat pada serat alami seperti benang halus berwarna putih. Saat dikunyah, ada lembut telur ikan bercampur renyah serat pengikat telur.
"Kaviar ini enak sekali. Ini makanan terbaik yang saya temui di sini," ujar seorang kawan dari India yang ikut dalam Sandeq Race 2007. Teman tadi menggunakan nama telur ikan, biasanya ikan terbang, yang diasin dan umumnya mengacu pada telur ikan dari Laut Kaspia yang diekspor ke seluruh dunia.
Gulai telur ikan Mandar sajian keluarga Mohammad Ge sangat nikmat karena masih segar, baru sebulan dikeringkan. Untuk memperoleh telur yang segar, datanglah antara bulan Mei hingga September saat musim berburu telur ikan terbang (motangnga). Telur ikan itu kami nikmati di Ujung Lero.
Gulai telur ikan terbang biasa disajikan bersama pupu, songko ubi, buras, dan ikan bumbu cabai. Pupu termasuk masakan khas Mandar. Makanan sejenis perkedel ini dibuat dari ikan cakalang dikukus kemudian dibuang tulangnya dan ditumbuk halus. Daging ditumbuk selama 30 menit bersama serai, lengkuas, garam, bawang merah, merica, cabai merah, dan jeruk nipis.
Sebelum digoreng, daging dicampur dengan adonan tepung beras. Adonan dibentuk segi tiga sama sisi baru digoreng di atas api kecil supaya matang merata hingga ke dalam. Bila kulit luar berwarna coklat, pupu sudah matang. Jika kulit luar masih putih, daging bagian dalam belum matang.
Pupu yang masih hangat menebar aroma harum rempah-rempah dan gurih ikan cakalang. Menggigit pupu tidak perlu usaha keras karena perkedel ini empuk. Sensasinya lembut di dinding mulut. Kulit pupu yang kering terasa renyah di antara kelembutan daging cakalang.
Di lidah, rasa pedasnya tidak terlalu kuat, tetapi menjalar lembut. Gurih daging ikan bertambah lengkap dengan rempah-rempah yang ditumbuk halus.
Pupu biasa disantap dengan buras, ketupat, atau songko ubi. Ketupat di tangan kanan, pupu di tangan kiri, digigit bergantian. Saat pagi hari, pupu menjadi sarapan istimewa ditemani teh atau kopi panas.
Bahari
Aneka makanan khas nelayan Mandar itu lahir dari budaya bahari. Rasa pedas cabai dan hangat merica untuk mengusir masuk angin saat melaut. Masakan juga cenderung kering supaya awet dibawa melaut berhari-hari.
Kekayaan kuliner nelayan Mandar itu memang belum terlalu dikenal. Kalau tertarik mencicipinya, silakan berkunjung ke perkampungan nelayan Mandar di Sulawesi Barat.
Dimuat di Kompas tanggal 9 September 2007
*********************************************
Berkunjung ke perkampungan nelayan Mandar di Sulawesi Barat tidaklah berkesan jika belum mencicipi gulai telur ikan terbang dan masakan serba ikan.
Layaknya makanan raja-raja, beberapa makanan lezat khas Mandar hanya disajikan saat acara ritual atau hajatan besar seperti pernikahan.
Saran jitu untuk menikmati masakan itu adalah datang ke daerah Mandar saat ada pesta pernikahan, sandeq race, atau pesta nelayan (mapandeqsasi).
Saya beruntung dapat menikmati hidangan Mandar langsung dari tangan pertama. Ketika meliput acara sandeq race pada 22-24 Agustus lalu, saya menginap di rumah Mohammad Ge yang asal Mandar, di Ujung Lero.
Saya dijamu masakan gulai ikan terbang yang terkenal itu. Bila Anda tidak punya kenalan warga setempat, masakan sejenis bisa didapat di beberapa hotel di Makassar, Sulawesi Selatan.
Daerah Mandar dengan perkampungan nelayannya berada di sepanjang Selat Makassar, dari Kabupaten Mamuju, Majene, hingga Polewali Mandar. Ada beberapa kampung Mandar di tengah kampung Bugis, seperti Ujung Lero, Kecamatan Suppa, Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan.
Ciri khas masakan Mandar adalah rasa yang pedas, gurih, sedikit asam, dan minim kuah. Variasi makanan sangat beragam mulai dari yang paling istimewa, yaitu gulai telur ikan terbang, pupu (semacam perkedel segi tiga dari ikan cakalang), sarundeng ikan, songko ubi, sampai buras.
Setiap keluarga nelayan Mandar pasti menyimpan telur ikan terbang kering. Jumlahnya tidak banyak karena hanya untuk jamuan khusus bagi tamu-tamu istimewa. Maklum, harga telur ikan terbang berkisar antara Rp 180.000 sampai Rp 300.000 per kilogram kering. Nelayan memilih menjual telur ikan daripada menyantap sendiri.
Sensasi Rasa
Aroma gurih gulai telur ikan yang masih mengepulkan asap sangat menggoda selera. Mencicipi kuahnya yang berwarna kekuningan, selera makan semakin meningkat.
Lidah tersengat sensasi gurih, pedas, bercampur sedikit asam. Bumbu cabai dan merica memberi sensasi pedas di mulut serta hangat yang menjalar perlahan di perut. Rasa asam mengalirkan air liur seperti efek buah zaitun untuk membangkitkan selera makan.
Telur ikan dalam kuah gulai masih berbentuk lembaran-lembaran sebesar bungkus rokok. Lembaran itu terdiri atas butir-butir telur yang melekat pada serat alami seperti benang halus berwarna putih. Saat dikunyah, ada lembut telur ikan bercampur renyah serat pengikat telur.
"Kaviar ini enak sekali. Ini makanan terbaik yang saya temui di sini," ujar seorang kawan dari India yang ikut dalam Sandeq Race 2007. Teman tadi menggunakan nama telur ikan, biasanya ikan terbang, yang diasin dan umumnya mengacu pada telur ikan dari Laut Kaspia yang diekspor ke seluruh dunia.
Gulai telur ikan Mandar sajian keluarga Mohammad Ge sangat nikmat karena masih segar, baru sebulan dikeringkan. Untuk memperoleh telur yang segar, datanglah antara bulan Mei hingga September saat musim berburu telur ikan terbang (motangnga). Telur ikan itu kami nikmati di Ujung Lero.
Gulai telur ikan terbang biasa disajikan bersama pupu, songko ubi, buras, dan ikan bumbu cabai. Pupu termasuk masakan khas Mandar. Makanan sejenis perkedel ini dibuat dari ikan cakalang dikukus kemudian dibuang tulangnya dan ditumbuk halus. Daging ditumbuk selama 30 menit bersama serai, lengkuas, garam, bawang merah, merica, cabai merah, dan jeruk nipis.
Sebelum digoreng, daging dicampur dengan adonan tepung beras. Adonan dibentuk segi tiga sama sisi baru digoreng di atas api kecil supaya matang merata hingga ke dalam. Bila kulit luar berwarna coklat, pupu sudah matang. Jika kulit luar masih putih, daging bagian dalam belum matang.
Pupu yang masih hangat menebar aroma harum rempah-rempah dan gurih ikan cakalang. Menggigit pupu tidak perlu usaha keras karena perkedel ini empuk. Sensasinya lembut di dinding mulut. Kulit pupu yang kering terasa renyah di antara kelembutan daging cakalang.
Di lidah, rasa pedasnya tidak terlalu kuat, tetapi menjalar lembut. Gurih daging ikan bertambah lengkap dengan rempah-rempah yang ditumbuk halus.
Pupu biasa disantap dengan buras, ketupat, atau songko ubi. Ketupat di tangan kanan, pupu di tangan kiri, digigit bergantian. Saat pagi hari, pupu menjadi sarapan istimewa ditemani teh atau kopi panas.
Bahari
Aneka makanan khas nelayan Mandar itu lahir dari budaya bahari. Rasa pedas cabai dan hangat merica untuk mengusir masuk angin saat melaut. Masakan juga cenderung kering supaya awet dibawa melaut berhari-hari.
Kekayaan kuliner nelayan Mandar itu memang belum terlalu dikenal. Kalau tertarik mencicipinya, silakan berkunjung ke perkampungan nelayan Mandar di Sulawesi Barat.
Langganan:
Postingan (Atom)